Wabah virus corona yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 lalu membuat pendapatannya kian seret. Sedekah atau bantuan dari orang pun sudah jarang didapat. Selain itu jalanan juga tak seramai sebelum pandemi Covid-19.
"Biasanya pas bulan puasa yang amal banyak. Sekarang jalanan juga sepi, apalagi abis Magrib," ucapnya.
Sejak wabah, perekonomiannya kian terpuruk. Ia tak pernah lagi mendapat penghasilan tambahan dari panggilan kerja sebagai kuli bangunan. Terpaksa, Suyatno hanya bisa mengandalkan penghasilan dari manusia gerobak dengan memulung kertas bekas, botol plastik, atau aluminium kemudian menjualnya ke pengepul.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu [sebelum pandemi] masih sering itu dipanggil jadi kuli bangunan. Kalau sekarang, ya ini [manusia gerobak] saja," terang Suyatno.
Tahun ini menjadi Ramadan kedua yang menyedihkan bagi Suyatno juga Carsih. Selain karena kondisi ekonomi yang semakin sulit, Suyatno nelangsa karena perayaan Idulfitri tahun ini hampir bisa dipastikan tak bisa dirayakan bersama keluarganya di Cilacap, Jawa Tengah.
"Ya seperti tahun lalu, lebaran di sini saja," kata Carsih.
Kisah serupa dialami Asih (39) yang juga melakoni hidup sebagai manusia gerobak bersama tiga orang anaknya.
Saat ditemui di salah satu perempatan di kawasan Joglo, Jakarta Barat, Asih hanya duduk bersandar di tembok salah satu bangunan sambil menunggu uluran belas kasihan dari orang-orang yang melintas dengan kendaraan, baik mobil atau sepeda motor.
Sementara anak-anaknya; ada yang sedang tidur di dalam gerobak, ada pula yang asyik bermain mobil-mobilan di atas trotoar.
Sedikit beda dengan Suyatno dan Carsih, Asih tak ambil pusing tidak bisa mudik ke kampung halaman di Kebumen, Jawa Tengah. Menurut dia, niat untuk mudik tahun ini diurungkan bukan karena pandemi Covid-19, melainkan kondisi keuangan yang tidak cukup.
Karena itu, ia berharap mendapat cukup uang dari hasil memulung untuk bekal mudik setelah lebaran.
"Maunya mudik nanti setelah lebaran, sekarang ngumpulin duitnya dulu," tutur Asih.
Bagaimanapun juga, kata Asih, berkumpul dan berbagi cerita bersama keluarga di kampung jadi momen yang dirindukan usai setahun merantau. Tapi mengingat kondisi keuangan saat ini, ia terpaksa harus legowo merayakan Idulfitri bersama anak-anaknya di jalanan, bukan di kampung halaman.
Momen Idulfitri, bagi Asih, tak melulu harus berupa perayaan seperti sebagian besar orang-orang. Tak ada kue kering khas lebaran seperti nastar atau kastengel. Ketupat dan opor pun bukan sajian utama keluarganya. Tidak pula pakaian baru.
Bagi Asih, bisa mengisi perut dengan makan dan minum saja sudah lebih dari cukup. Pada Idulfitri hari ini pun, Asih dan anak-anaknya akan tetap berada di jalanan untuk menjemput rezeki.
"Bisa makan saja sudah syukur," ucap Asih.