Jakarta, CNN Indonesia --
Malam lebaran tahun lalu, dua anak Budi Raharjo tengah tidur pulas di kamar paling depan di rumahnya, Gang Buntu II di Pancoran, Jakarta Selatan. Ketika lantunan takbir berkumandang sepanjang malam, kedua bocah itu sudah terlelap.
Mereka sengaja tidur lebih awal, sebelum pukul 11 malam, karena keduanya tak mau telat datang ke masjid untuk Salat Idulfitri.
Tapi itu tahun lalu. Sedangkan Lebaran kali ini, Budi sangsi anak-anaknya bisa tidur enak. Perkaranya, tembok kamar yang dulu kokoh kini berganti tripleks dan seng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hawa tak nyaman dan nyamuk-nyamuk lebih bebas berdatangan saban malam menyambangi buah hatinya.
Kamar depan yang tahun lalu tegak berdiri itu, pada 15 Maret 2021 roboh karena digempur ekskavator. Temboknya hancur. Alhasil, lobang menganga di bagian samping kamar itu kemudian ditutup tripleks seadanya.
Itu sebab, klakson atau bising kendaraan dari jalanan pun bakal lebih nyaring terdengar. Suara-suara itu tak pelak jadi nyanyian pengantar tidur paling akrab yang mampir di kuping.
Begitulah malam-malam Ramadan tahun ini mereka lalui. Tentu juga dengan lebaran. Namun rasa tak nyaman tersebut bukan hanya terasa di badan, melainkan juga was-was di pikiran.
 Rumah Budi Raharjo, warga di Gang Buntu II Pancoran, Jakarta Selatan. (CNN Indonesia/ Yulia Adiningsih) |
Kata Budi, keluarganya masih kerap diliputi cemas kalau-kalau rumah mereka dirobohkan. Ingatan acapkali berulang ke momen-momen ketika alat berat menggasak dinding dan atap rumah mereka.
Ia merasa, bukan tak mungkin hal serupa sewaktu-waktu akan kembali menimpa keluarganya.
"Ini hancur, bolong, tembok-temboknya berjatuhan ke kasur," cerita Budi sambil sesekali menunjuk gerowong bangunan rumahnya.
"Untung enggak kena anak saya," imbuh dia lagi.
Budi, adalah salah satu warga Pancoran yang jadi korban penggusuran, buntut sengketa lahan dengan PT Pertamina. Sekitar dua bulan lalu ekskavator merobohkan sebagian rumahnya. Kala itu anaknya sedang tidur di kamar.
 Budi Raharjo, warga Pancoran yang tak akan meninggalkan rumah saat lebaran takut ada penggusuran dadakan. (CNN Indonesia/ Yulia Adiningsih) |
Beruntung seorang tetangga saat itu bergegas berlari memperingatkan anak Budi. Sehingga ketika batu-bata mulai rontok ke kasur, anak-anak Budi sudah ngibrit duluan ke dapur menyelamatkan diri.
"Kalau enggak, bisa kena semua badannya," ucap Budi mengenang.
Suasana waktu itu, kacau. Anak-anak ketakutan melihat alat berat hilir-mudik menghancurkan satu per satu bangunan yang ada. Pengalaman mengusik tersebut membekas hingga kini.
Karena itu ia menyebut, Ramadan ini menjadi tahun yang 'spesial', berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Spesial bagi Budi tak selalu merujuk pada hal-hal baik. Ia mengaku memakai kata itu sekadar sebagai penghiburan diri dan keluarganya.
"Ini spesial Ramadan, ya. Bahas perasaan itu dalem. Itu sedih banget," kata dia.
"Selama ini saya pendem kesedihan saya," ucap Budi lagi.
Lanjut baca ke halaman berikutnya ...
Penggusuran bukan hanya merenggut rasa nyaman melainkan juga memporak-porandakan perekonomian Budi. Sebelumnya ia membuka bengkel dengan 18 pekerja. Tapi sejak digusur, seluruh pegawainya pulang kampung. Para pelanggan pun menghilang satu demi satu.
Tempat usahanya itu tak lagi mirip bengkel, bekas reruntuhan rumah masih menumpuk di sana.
Usaha kecil-kecilan istri Budi pun turut sepi. keluarga ini akhirnya mengandalkan pendapatan dari berjualan es batu.
"Sehari paling Rp15 ribu-Rp60 ribu," ucap dia.
Seperti halnya keluarga Budi, Sunah--seorang warga lain--menyimpan ketakutan tersendiri sejak awal 2021 itu.
Sehari-hari ia berjualan Soto Lamongan di dekat rumah Budi. Mangkuk-mangkuk soto itu jadi satu-satunya sumber rezeki. Tapi kini Sunah dilanda bingung lantaran tenda tempat dia berjualan juga luluh lantak oleh ekskavator.
Sunah bercerita, saat itu ia bukannya tak melawan, tapi orang-orang yang datang untuk menggusur kelewat banyak. Ia dan warga Gang Buntu II kewalahan.
Belum lagi rentetan gas air mata, molotov, juga raungan ekskavator. Tenda-tenda dan rumah tetangganya satu per satu rata tanah.
"Tiap hari kayak sport jantung," ungkap Sunah.
Memasuki Ramadan, ketegangan memang menurun. Tapi Sunah tak bisa menyingkirkan ingatan buruk itu dari benaknya. Kejadian-kejadian sebelumnya masih menyisakan trauma, ia acap ketakutan juga was-was.
 Kondisi salah satu bangunan rumah yang digusur paksa akibat sengketa lahan warga dengan PT Pertamina di Gang Buntu II Pancoran. (CNN Indonesia/ Yulia Adiningsih) |
Lantai dua rumahnya rontok, hancur oleh ekskavator. Runtuhan tembok, kaca dan genteng, bersatu di atap lantai dasar bangunan rumah.
Meski begitu Sunah dan keluarganya memilih bertahan. Dia tak punya pilihan.
"Kalau mau gusur harus ada kebijaksanaan, kita kan bukan binatang. Jangan asal gusur tapi enggak ada ganti. Lagi kayak gini nyari tempat tinggal kan harus ada duitnya dulu belum tentu dapat. Mau ke mana coba?" ucap Sunah.
Orang-orang di Gang Buntu II Pancoran tahu, malam-malam Ramadan, juga Lebaran tahun ini akan jauh berbeda. Usaha mereka morat-marit, rumah yang mereka tinggali pun tak tahu sampai kapan masih tegak.
Penghuni di kawasan itu pun tak seramai dulu. Beberapa sudah pindah mencari tempat tinggal baru.
Jika sebelum-sebelumnya, saban Ramadan dan Lebaran Gang Buntu II selalu ramai penjaja makanan dan riuh bocah. Tahun ini tak demikian. Tenda-tenda penjual makanan kosong melompong. Anak-anak dan orang tua berdiam di rumah, mereka dibebat bayang-bayang ketakutan; cemas jangan-jangan tiba-tiba ekskavator datang dan merobohkan rumah mereka.
Menurut Budi, sejak alat berat sering datang tiba-tiba ke wilayah mereka, ia dan keluarganya ketar-ketir setiap hendak meninggalkan rumah. Budi takut, saat pulang, rumah yang 20 tahun ia tinggali itu sudah rata tanah.
Itu sebab meski lebaran, tahun ini ia berjanji tak akan meninggalkan rumah.
"Kita mau cari hiburan ke saudara juga enggak berani ninggalin rumah kita," ungkap Budi.