Dua Sisi Intervensi Jokowi soal Nasib 75 Pegawai KPK
Pernyataan Presiden Joko Widodo soal pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) dianggap dilematis. Satu sisi baik bagi 75 staf itu dalam jangka pendek, namun ke depannya potensi intervensi bakal makin terbuka.
Pada Senin (17/5), Jokowi, dalam keterangan resminya, berpendapat peralihan status pegawai KPK menjadi pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak boleh merugikan hak pegawai KPK sedikit pun.
Ini berbeda dengan sikap Ketua KPK Firli Bahuri yang kukuh menonaktifkan 75 pegawai tersebut.
Jokowi pun meminta KPK berembuk bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Badan Kepegawaian Negara untuk merumuskan konsep bagi para pegawai lembaga antirasuah itu.
Sejauh ini, belum ada keputusan pasti tentang nasib 75 pegawaiKPK usaiJokowi memberikan pernyataan. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan pihaknya akan mengikuti "arahan Presiden".
"Menindaklanjuti arahan Presiden, kami akan melanjutkan koordinasi dengan Kemenpan-RB, Badan Kepegawaian Negara dan lembaga terkait lainnya," kata dia.
Senada, Menpan RB Tjahjo Kumolo mengaku masih akan berkoordinasi dengan pihak terkait, terutama mengenai sekolah kedinasan bagi 75 pegawai KPK yang sebelumnya dianjurkan Jokowi.
"Belum bisa beri jawaban sekarang. Kan harus koordinasi dulu dengan kepala BKN (Badan Kepegawaian Negara) dan Ketua KPK," kata dia.
Dihubungi terpisah, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman menyatakan 'intervensi' Jokowi itu setidaknya memberi kepastian pada 75 pegawai KPK itu.
"Pidato presiden setidaknya menyelesaikan persoalan ancaman pemecatan 75 pegawai KPK. Presiden turun tangan ini bentuk intervensi. Hanya saja dalam soal ini intervensi positif," ujar Zaenur kepada CNNIndonesia.com, Selasa (18/5).
Zaenur menambahkan pimpinan KPK harus segera mengaktifkan kembali 75 pegawai tersebut. Para pegawai, lanjut dia, harus diberikan lagi tugas dan tanggung jawab pekerjaannya seperti semula.
Meski demikian, dia pesimistis dengan kinerja lembaga antirasuah ke depannya meskipun 75 pegawai tersebut nantinya bisa kembali bekerja. Pasalnya, muatan UU KPK hasil revisi yang salah satu poinnya mengatur peralihan status pegawai KPK menjadi ASN.
Menurut dia, hal ini membuat kerja-kerja pemberantasan korupsi ke depan sangat terbuka untuk diintervensi.
"Turun tangannya Jokowi untuk meluruskan alih status dan TWK itu sudah menjadi bukti bahwa beralihnya status itu membuka ruang intervensi. Karena presiden pembina tertinggi ASN sehingga dalam kesempatan ini presiden bisa turut campur dalam urusan internal KPK," ucap dia.
Zaenur menduga ke depannya KPK akan sering dilanda permasalahan internal usai pegawai dialihstatuskan menjadi ASN. Akibatnya, misi pemberantasan korupsi jadi tidak optimal.
"Ke depan, kerja penindakan tetap akan ada tetapi tidak akan dapat fokus menyelesaikan kasus besar dan strategis," ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menilai pimpinan KPK seharusnya bisa dengan lekas menerima kembali puluhan pegawai yang telah diberhentikan.
Selain karena tak ada alasan hukum untuk memecat, menurut dia, 75 pegawai itu merupakan aset negara dalam upaya memberantas korupsi.
"Ini harus diterima bahwa mereka tetap pegawai KPK dengan pertimbangan asas manfaat, tolong berikan saya gambaran untuk merekrut 75 orang sekaliber mereka, gampang enggak? 75 ini aset harus dipertahankan," ungkap dia.
Boyamin mengaku tidak mempersoalkan status ASN yang melekat di 'baju' pegawai komisi antirasuah. Ia menilai mereka akan tetap bekerja optimal dalam memberantas korupsi.
"Sejak awal aku tidak pro-kontra ASN. Mereka sebenarnya qualified, jadi ASN pun saya yakin mereka tetap memberantas korupsi. Enggak akan kendur. Justru karena ini terjadi polemik, mereka akan menunjukkan semakin hebat. Kalau mereka enggak dipecat loh ya," imbuhnya.
(ryn/bmw)