Ade Armando bersama beberapa rekannya membentuk Civil Soviety Watch untuk memantau aktivitas masyarakat serta LSM yang menyebarkan berita bohong atau hoaks hingga ancaman. Hal ini dinilai tak produktif lantaran menghadapkan warga dengan warga, bukan malah mengawasi jalannya pemerintahan.
Ade berdalih pembentukan Civil Society Watch bertujuan agar masyarakat bisa bersama-sama membangun demokrasi yang sehat.
"Kita tuh sekarang lihat betapa masyarakat sipil jadi kekuatan dalam demokrasi. Karena kan kita berharap government jangan terlalu campur tangan nih, masyarakat harus bersama-sama membangun demokrasi dengan cara sehat dan lebih dewasa," kata Ade Armando kepada CNNIndonesia.com melalui telepon, Selasa (8/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ade mengatakan masyarakat terbagi dalam beberapa golongan. Ada yang masuk kategori LSM atau NGO dan organisasi lainnya, ada pula warga sipil biasa.
Menurut dia, selama ini ada golongan yang kerap menyebarkan gagasan yang berlawanan dengan ideologi negara, misalnya negara khilafah. Atas dasar itu Civil Society Watch dibentuk.
Ade menyebut kelompok tersebut harus dikontrol. Civil Society Watch yang melakukannya sebagai bagian dari masyarakat demi membantu pemerintah.
"Semangat saya gini, artinya tidak semua masyarakat sipil ketika diberi kebebasan akan gunakan itu untuk kebaikan. Mereka justru bisa aja ancam demokrasi. Maka harus ada yang ingatkan," kata dia.
Civil Society Watch sudah aktif sejak dua bulan yang lalu. Namun, dia mengakui baru mengenalkannya kepada publik baru-baru ini.
Dia membantah anggapan bahwa Civil Society Watch hanya sekumpulan buzzer yang nantinya melaporkan pihak lain ke kepolisian. Meski begitu, Ade memahami jika ada kelompok yang berpikir demikian.
"Kita paham saja, yang penting kerja dengan benar nanti juga terbukti apa yang kita lakukan. Sejak awal kalau ada orang yang nyinyir ke kami ya itu resiko kerjaan kami. Lembaga pemantau memang harus siap diserang balik oleh mereka yang dipantau," kata dia.
Terpisah, peneliti dari Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola mengatakan pendirian CSW bukan hal yang mendesak. Terlebih, yang perlu diawasi itu sebenarnya adalah pemerintah.
![]() |
"Ada dua hal. Pertama, pembentukan gerakan yang diinisiasi Ade Armando dan kawan-kawan ini tidak urgent, karena justru pesan utama dari berbagai indeks tadi justru yang dikuatkan, apa yang perlu diawasi betul itu negara, bukan warganya sendiri," kata Alvin.
"Jadi justru yang selama ini melakukan banyak pelanggaran hukum, hak asasi manusia adalah negara. Justru yang harus menjadi acuan adalah akuntabilitas pada negara," imbuhnya.
Kedua, menurut Alvin, yang harus menjadi perhatian selama ini polemik yang ada di tengah-tengah masyarakat datangnya dari kekisruhan politik hukum yang selama ini diinisiasi oleh pemerintah dan parlemen.
Menurutnya, keberadaan CSW tentu tidak akan berdampak langsung pada Indeks Demokrasi Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mengumumkan bahwa angka Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2019 berada di angka 74,92 persen.
Dalam data BPS itu, kebebasan sipil yang menjadi salah satu aspek penilaian mengalami penurunan sebanyak 1,26 poin.
Tidak hanya itu, Alvin meminta CSW harus bisa menunjukkan kepada publik akuntabilitas alias terbuka ke publik. Sebab, selama ini, Ade Armando dikenal luas sebagai salah satu pendukung Presiden Joko Widodo.
"Apalagi kalau ada aliran-aliran keuangan yang datangnya dari publik, misalnya donasi. Jangan sampai jadi proxy-nya negara, akhirnya warga mengawasi warga sendiri yang sama sekali tidak produktif dalam konteks demokrasi kita," tuturnya.
(tst/dmi/bmw)