Di sisi lain, sejumlah partai saat ini mulai berebut simpati dan suara dari kalangan muda, antara generasi milenial dan Z. Upaya itu dilakukan sebab kelompok generasi tersebut dinilai potensial menjadi basis elektoral.
Kendati demikian, Kunto mencatat, bahwa jumlah persentase pemilih muda atau baru dari kelompok generasi milenial dan Z masih relatif lebih sedikit dibanding generasi tua.
Hingga 2024, kata dia, tingkat persentase pemilih dari generasi milenial ke atas hanya di angka sekitar 40 persen. Sementara sisanya basis elektoral dari kelompok pemilih tua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun ia mengaku tak heran hampir semua partai kini mulai berebut meraup basis elektoral dari kelompok milenial. Menurut Kunto, meraup suara kelompok muda memang memiliki keuntungan sebab notabene mereka adalah pemilih pemula, yang kelak berpotensi menjadi basis elektoral.
"Jadi kalau di awal dia sudah memilih salah satu partai atau salah satu pimpinan partai tertentu, maka dia akan terprogram untuk terus memilih itu," kata dia.
Faktanya, Kunto belum mendapati sejumlah partai yang cukup berhasil menarik simpati kelompok milenial atau Z.
Selain upaya partai politik tak maksimal, kelompok pemilih muda tersebut tak bisa diseragamkan.
Lagipula, menurut Kunto, pengelompokan pemilih berdasarkan usia adalah cara usang. Dalam kasus karakteristik pemilih muda, katanya, mereka memiliki latar belakang berbeda sehingga sulit untuk menyamaratakan.
Terlebih, parpol juga tak mau ambil risiko dengan mengambil strategi lewat sejumlah isu-isu strategis seperti politik, HAM, dan lingkungan yang belakangan menjadi perhatian generasi milenial.
"Menurut saya parpol-parpol ini masih bermain gimik. Jadi seakan-akan muda bisa didekati dengan artis doang. Influencer doang," katanya.
Milenial Apolitis
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Adi Prayitno menilai sulit memetakan basis elektoral kendati sejumlah nama telah masuk dalam bursa capres 2024.
Menurut Adi, semua nama yang telah masuk dalam bursa capres memiliki basis pemilih mereka sendiri, tak terkecuali dari kelompok milenial.
Peta pemilih, menurutnya, baru bisa terlihat jika dari beberapa nama tersebut telah mengerucut menjadi dua atau tiga nama.
"Nanti akan kelihatan siapa yang paling kuat sebaran pemilih di kalangan muda atau di kalangan tua," kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu.
Hingga saat ini, kata Adi, sebagian besar pemilih, termasuk pemilih muda, masih memberikan suara berdasarkan tingkat popularitas atau elektabilitas capres.
Berbeda dengan Kunto, Adi justru menilai kelompok pemilih muda atau pemula adalah kelompok paling apolitis, sehingga sulit membuat basis elektoral di antara mereka.
"Anak muda banyak yang tidak engage dan tidak peduli dengan urusan politik. Anak muda itu lebih peduli terhadap urusan entertain, kesenian, kebudayaan, yang cukup lekat dengan kehidupan mereka," kata dia.
"Jadi sekalipun jumlah anak muda signifikan, tidak automatically mereka ini peduli terhadap persoalan politik," imbuh Adi.
(thr/psp)