Wamenkumham: Hampir 76 Tahun Hidup dengan KUHP Tak Pasti

CNN Indonesia
Senin, 14 Jun 2021 18:40 WIB
Edward Omar Sharif Hiariej saat dihadirkan tim Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai ahli pada sidang gugatan Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia --

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada saat ini tidak pasti. Oleh karena itu, ia menyatakan RKUHP sangat mendesak untuk segera disahkan.

"Memang suatu permasalahan bagi kita sendiri, mengapa KUHP ini adalah suatu hal yang urgen untuk segera disahkan? Sebab, kita hidup selama hampir 76 tahun dengan menggunakan KUHP yang tidak pasti," ujar Eddy, sapaannya, dalam agenda sosialisasi RUU KUHP di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (14/6).

Dengan KUHP yang tidak pasti itu, Eddy menyinggung banyak orang yang telah dijatuhi hukuman oleh majelis hakim di pengadilan.

"Padahal, Bapak Ibu tahu persis, bahwa KUHP yang berlaku di ruang-ruang sidang pengadilan itu telah dipakai untuk menghukum bukan satu-dua orang, bukan puluhan, ratusan atau ribuan orang, tetapi jutaan orang dihukum dengan menggunakan KUHP yang tidak pasti," imbuhnya.

Menurut dia, pemerintah sampai saat ini belum menentukan pilihan menggunakan KUHP versi terjemahan Profesor Moeljatno atau Profesor Soesilo. Padahal, lanjut dia, banyak perbedaan yang signifikan dari kedua terjemahan tersebut.

"Coba secara acak Bapak Ibu buka Pasal 110 KUHP tentang permufakatan jahat. Dalam KUHP yang diterjemahkan Moeljatno dikatakan permufakatan jahat untuk melakukan makar sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 108 KUHP dipidana dengan pidana yang sama dengan kejahatan itu dilakukan. Dipidana dengan pidana yang sama dengan kejahatan yang dilakukan itu berarti pidana mati," kata Eddy.

"Lalu, coba buka Pasal 110 KUHP yang diterjemahkan oleh Soesilo. Soesilo mengatakan bahwa permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 108 KUHP dipidana dengan pidana maksimum 6 tahun. Ini perbedaan sangat signifikan. Ini serius," lanjutnya.

Atas dasar itu, ia meminta agar pembahasan RKUHP tidak berlarut-larut untuk kemudian bisa disahkan.

Dia menyebut pihak yang ingin menunda pengesahan RKUHP berarti menginginkan status quo dan tetap dalam ketidakpastian hukum, serta menghukum orang dengan KUHP yang tak pasti. 

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan RKUHP yang sedang dibahas ini diupayakan merupakan hasil keputusan bersama. Ia menyebutnya sebagai resultante demokratis.

Ia mafhum dalam penyusunannya ada perbedaan pendapat dari berbagai pihak.

"Keputusan harus tetap segera diambil. Mau mencari resultante dari 270 juta orang Indonesia. Resultante itu artinya kesepakatan seluruhnya, itu hampir tidak mungkin. Oleh sebab itu, keputusan harus diambil pada akhirnya melalui due process," kata Mahfud.

Menurutnya, proses yang benar yaitu yang konstitusional. Menurutnya, kalau RKUHP terus didiskusikan, maka tidak akan selesai.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM sudah menggelar sosialisasi RUU KUHP di 12 kota besar di Indonesia. Jakarta menjadi kota terakhir dalam agenda yang turut mengundang sejumlah guru besar tersebut.

(ryn/pmg)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK