Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra meminta Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK.
Permintaan itu berkenaan dengan sengkarut tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) yang mana 75 orang dinyatakan tidak lolos. Aturan tentang pegawai KPK menjadi ASN diatur dalam UU KPK.
Azyumardi menyebut apa yang terjadi terhadap KPK saat ini akan diingat sebagai warisan negatif pemerintahan Presiden Jokowi. Jika ingin meninggalkan warisan positif, menurutnya, maka Jokowi perlu menerbitkan perppu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini kalau mau positif legacy yang akan ditinggalkan beliau dalam waktu 2,5 tahun atau sekitar itulah," kata Azyumardi di acara yang disiarkan dalam jaringan (daring) seperti diberitakan Antara, Senin (14/6).
Menurut Azyumardi, tes wawasan kebangsaan KPK merupakan persoalan serius. TWK, lanjutnya, hanya dilakukan berdasarkan regulasi internal KPK.
UU KPK yang disahkan pada 2019 lalu memang menghendaki pegawai KPK menjadi ASN. Namun, tidak diatur mengenai proses seleksinya. Bahkan dalam pelaksanannya, diduga ada pertanyaan-pertanyaan yang berpotensi melanggar HAM.
"Undang-Undang KPK maupun Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 nihil menyinggung terkait tes atau asesmen," kata Azyumardi.
![]() Ketua KPK Firli Bahuri belum pernah memenuhi undangan Komnas HAM untuk memberikan keterangan ihwal tes wawasan kebangsaan |
Azyumardi Azra 7 guru besar dari beberapa universitas lalu menyatakan dukungan kepada Komnas HAM. Mereka mendukung upaya penyelidikan terkait dugaan pelanggaran HAM dalam tes wawasan kebangsaan KPK.
Mereka yang memberi dukungan kepada Komnas HAM yaitu Prof. Azyumardi Azra, Prof. Sigit Riyanto, Prof. Supriadi Rustad, Prof. Susi Dwi Harijanti, Prof. Atip Latipulhayat, Prof. Sukron Kamil, Prof. Ruswiati Suryasaputra dan Prof. Hariadi Kartodihardjo.
"Para Guru Besar Antikorupsi memberikan masukan dan dukungan bagi Komnas HAM yang sedang melakukan penyelidikan untuk dapat mengusut tuntas skandal ini," kata Azyumardi.
Dalam kesempatan yang sama, mereka juga mendesak pimpinan KPK untuk memenuhi panggilan Komnas HAM. Diketahui, pimpinan KPK sejauh ini belum pernah memenuhi undangan Komnas HAM.
"Selaku pejabat publik yang terikat dengan etika bernegara, kami mendesak agar Pimpinan KPK berani untuk memenuhi panggilan kedua dari Komnas HAM esok hari," kata Susi Dwi Harjanti, Guru Besar Universitas Padjadjaran.
Sementara itu, Peneliti Indonesia Coruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhan mengkritik sikap pimpinan KPK yang lebih memilih mendatangi Ombudsman ketimbang Komnas HAM. Dia menyorot soal etika bernegara para pimpinan KPK.
"Dan juga tidak menghargai etika bernegara. Karena kita tahu Komnas HAM adalah lembaga negara juga, jadi harusnya apa yang disampaikan oleh Bapak Nurul Ghufron tidak seperti itu ya," kata Kurnia.
(tst/antara/bmw)