Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menuntaskan program vaksinasi Covid-19 di Ibu Kota untuk membentuk herd immunity atau kekebalan kelompok pada akhir Agustus 2021.
Anies menyanggupi target Jokowi. Ia akan menyuntikkan vaksin Covid-19 kepada 7,5 juta warga DKI hingga dua bulan ke depan. Anies pun berencana memvaksinasi 100 ribu orang per hari.
Beberapa ahli global dan nasional menyepakati herd immunity terbentuk setelah 60-70 persen penduduk divaksin Covid-19. Oleh karena itu, Indonesia menargetkan 181.554.465 penduduk harus divaksin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk Jakarta, dengan jumlah penduduk sekitar 10,65 juta, berdasarkan data BPS 2020, vaksin Covid-19 harus diberikan kepada sekitar 7.932.000 orang.
Namun, sejumlah pakar menilai target Jokowi dan Anies mustahil tercapai. Mereka juga menganggap Jokowi dan Anies keliru terkait konsep herd immunity. Pemerintah pun diminta tak hanya fokus di DKI.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mengatakan konsep herd immunity harus mencakup keseluruhan penduduk Indonesia, tak hanya parsial di DKI semata.
Hermawan mengatakan Anies juga akan sulit mencapai target untuk menyuntik dua dosis vaksin Covid-19 terhadap 70 persen penduduk Jakarta sampai Agustus 2021. Mengigat, setiap vaksin memiliki interval atau jeda penyuntikan.
"Itu salah kaprah, herd immunity bukan diukur DKI saja, tapi secara nasional. Kalaupun DKI misalnya vaksinasi berdasarkan target pemerintah itu tetap tidak mampu di Agustus 2021, it's impossible, mustahil," kata Hermawan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (15/6).
Hermawan mengatakan membentuk kekebalan kelompok di DKI juga sulit lantaran banyak penduduk yang hilir mudik dari wilayah penyanggah, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
 Foto: Dok. Satgas Covid-19 Infografis Siap Sedia Vaksin Lansia |
Menurutnya, sekalipun 70 persen penduduk DKI divaksin, mereka belum bisa dikatakan aman dari penularan virus corona. Apalagi saat ini varian mutasi virus SARS-CoV-2 yang diwaspadai WHO sudah ditemukan di sejumlah daerah.
Di sisi lain, Hermawan khawatir target Jokowi ini membuat distribusi vaksin Covid-19 ke sejumlah daerah yang membutuhkan terhambat lantaran semua dialihkan ke Jakarta yang memasang target vaksinasi 100 ribu orang per hari.
Padahal, kata Hermawan, banyak daerah di luar Jawa yang tingkat capaian vaksinasinya begitu rendah akibat terkendala ketersediaan vaksin Covid-19 yang terbatas.
"Jangan sampai mengejar target DKI, lantas semua vaksin ditumpuk dan diprioritaskan untuk DKI, itu jauh lebih berbahaya, karena prinsip vaksin harus merata. Kalau hanya menjadikan DKI portofolio itu salah," ujarnya.
Lebih lanjut, Hermawan mengingatkan herd immunity tak bisa terbentuk dalam waktu singkat. IAKMI memprediksi herd immunity Indonesia baru bisa tercapai dalam periode 3,5 tahun. Ia pun menilai target vaksinasi Covid-19 selama setahun bisa molor.
Data Kemenkes per Selasa (15/6) Pukul 12.00 WIB tercatat sebanyak 20.904.723 orang telah menerima suntikan dosis vaksin virus corona. Sementara baru 11.699.021 orang telah rampung menerima dua dosis suntikan vaksin Covid-19 di Indonesia.
Itu artinya, target vaksinasi pemerintah baru menyentuh 11,5 persen dari sasaran vaksinasi yang menerima suntikan dosis pertama. Sedangkan suntikan dosis kedua baru berada di angka 6,4 persen.
"Mungkin pernyataan herd immunity Agustus 2021 itu hanya semangat politis, sebagai bentuk negara mendorong percepatan. Tapi kalau kita melihat faktual tidak mungkin," kata Hermawan.
Senada dengan Hermawan, Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman juga memastikan target Jokowi dan Anies adalah sesuatu yang sangat jelas tidak mungkin tercapai apabila disandingkan dengan konsep asli herd immunity.
"Tentu saja tidak mungkin ya, saya bisa sampaikan sangat jelas tidak mungkin. Jangankan Indonesia yang baru sekian persen, pada negara seperti Israel dan Amerika Serikat yang sudah jauh lebih banyak cakupan vaksinasinya, ya belum mencapai herd immunity," kata Dicky kepada CNNIndonesia.com, Selasa (15/6).
Data vaksinasi DKI Jakarta per Senin (14/6) pukul 18.00 WIB, mencatat capaian vaksinasi dosis pertama harian terakhir 74.076 untuk dosis pertama, dan hanya 3.732 untuk dosis kedua. Itu artinya, dalam sehari DKI memberikan 77 ribu dosis vaksin untuk warga.
Sementara Anies menargetkan akan melakukan vaksinasi 100 ribu dosis per hari untuk dua bulan ke depan demi mencapai 'goal' Jokowi.
Saat ini vaksinasi dosis pertama di DKI telah menyasar 2.960.623 orang, sementara untuk dosis kedua baru diterima oleh 1.866.647 orang.
Apabila berpatokan pada WHO, yakni vaksinasi lengkap baru bisa dikatakan setelah warga menerima dua dosis vaksin covid-19, maka saat ini warga Ibu Kota yang sudah mendapat vaksin lengkap baru 23,53 persen dari target 70 persen penduduk DKI yang akan divaksin.
Atau kemudian jika pemerintah bakal menggunakan patokan satu dosis, maka saat ini baru 37,32 persen warga DKI yang sudah divaksin dari target.
Dengan demikian, Pemprov DKI masih harus memberikan suntikan vaksin kepada 6.065.353 selama dua bulan ke depan. Sementara itu, ada interval pemberian dosis satu ke dua. Untuk Sinovac paling lama 28 hari dan AstraZeneca paling lama 3 bulan.
Kemudian bila mengukur capaian vaksinasi pada dosis pertama, DKI juga masih perlu usaha untuk menggenjot 4.971.377 orang untuk divaksin hingga Agustus 2021.
"Kita sebelumnya bahkan harus revisi roadmap vaksinasi agar sesuai perpanjangan masa interval, jadi disesuaikan perkembangan terbaru," kata dia.
Strategi Capai 100 Ribu Dosis per Hari
Dicky melanjutkan, ada tiga strategi yang harus dilakukan DKI maupun seluruh provinsi Indonesia dalam mencapai target vaksinasi secara agresif dan masif. Pertama, inovasi pada aspek manajemen.
Dicky menyebut pemprov DKI harus mampu memastikan berapa jumlah stok vaksin yang mereka dapat, serta jenis merek vaksin apa saja yang akan dipakai, dan kepada siapa tujuan vaksinasi. Keseluruhannya harus disampaikan secara transparan dan ditulis dalam situs data terintegrasi.
"Jadi kan di DKI ada warga yang bukan asli KTP sana tapi menetap ya. Nah itu harus jelas, ini yang akan divaksinasi siapa saja sebetulnya? jumlah berapa sih? sehingga menimbulkan keterpercayaan pada masyarakat," kata Dicky.
Ia juga meminta pemerintah terbuka terhadap kasus-kasus temuan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), sehingga masyarakat mampu merasa aman, mengetahui pantangan sebelum vaksin hingga tidak termakan banyak kabar burung alias berita hoaks.
Kemudian kedua adalah masalah operasional. Dicky menilai pemprov DKI bila ingin menggenjot 100 ribu dosis per hari, harus mempersiapkan titik-titik vaksinasi secara masif. Menurutnya, pelaksanaan vaksinasi tak harus selalu di fasilitas pelayanan kesehatan.
Dicky menyarankan DKI mampu memanfaatkan fasilitas umum hingga dokter praktek umum sebagai tempat vaksinasi, sehingga masyarakat yang rentan seperti lansia tak perlu susah payah mendatangi fasilitas kesehatan seperti Puskesmas.
"Jadi negara lain ada yang ke dokter praktek umum sampai apotek. Kemudian seperti di Israel dan AS ada door to door, mengunjungi rumah-rumah khususnya sasaran vaksinasi penyandang disabilitas, juga lansia," katanya.
Tak cukup penyediaan fasilitas vaksinasi, Dicky juga menyoroti masalah administrasi vaksinasi berjalan secara digital dan cepat. Selanjutnya strategi ketiga menurutnya adalah komunikasi.
Dicky menilai sosialisasi dan komunikasi adalah faktor penting yang bisa membangun minat masyarakat untuk divaksin. Sejauh ini, Dicky belum melihat komunikasi publik pemerintah seragam dan mendetail.
"Penting ada strategi komunikasi sebelum vaksinasi, selama vaksinasi berlangsung, dan setelah vaksinasi, dan ini menurut saya yang masih kurang. Padahal ini saatnya kita melawan informasi hoaks dan konspirasi yang beredar di masyarakat yang menyebabkan minat publik terhadap vaksin turun," ujar Dicky.