Sulaeman (62) melamun di kursi sembari menyandarkan punggungnya ke tiang di lapaknya yang gelap. Sebuah lampu bohlam putih menyala di atas meja, menyinari mesin gosok batu akik yang dingin.
Mata tua Sulaeman berpendar menatap lapak-lapak gosok lain yang juga sepi. Kadang ia menatap sepotong batu rafflesia yang ia potong sebelumnya. Tidak seperti batu akik yang berkilau, mata itu terlihat suram. Hari itu Saeman tampak sedih dan gelisah.
"Keadaan begini kadang-kadang kalo dipikirin bisa stres. Jam segini belum dapet duit sepeser pun," kata Sulaeman saat ditemui CNNIndonesia.com di sudut sentra batu akik Pasar Rawa Bening, Jatinegara, Jakarta Timur, Selasa (15/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sulaeman telah menjadi perajin batu akik sejak 1981, saat para penjual masih menjajakan barangnya di luar area Pasar Rawa Bening dan peminat masih cukup banyak.
Baca juga:Tren Batu Akik Tergantikan oleh Burung |
Pria asal Sukabumi, Jawa Barat itu merupakan kampung perajin batu akik, telah belajar menggosok batu sejak sekolah dasar (SD).
"Namanya orang kampung orang susah, bisa gosok batu, akhirnya ada yang bawa ke Jakarta," kata Sulaeman.
Dia sempat mencicipi manisnya tren batu akik pada 2014. Saat itu, dalam satu hari ia bisa mengantongi uang Rp500-600 ribu. Masa jaya itu hanya sebentar. Begitu tren batu akik merosot, pendapatannya menurun. Ia hanya bisa mengantongi Rp100-150 ribu per hari.
Keadaan ini semakin buruk saat pagebluk Covid-19. Paling banyak, Sulaeman hanya menggosok lima bongkah batu dengan upah Rp20-25 ribu per buah.
"Ada enggak ada [pelanggan] jam 4 [sore] tutup. Kadang sama sekali enggak ada," keluh dia.
Tukang gosok batu lainnya, Sulaeman, menunjuk kursi meja rekan-rekanya yang kosong tanpa pelanggan. Jika ada mesin gosok berdesing, kata dia, mereka sedang mengerjakan bahan milik sendiri.
Karena tidak ada klien, beberapa rekan Sulaeman memutuskan tutup. Hal ini menjadi pilihan dari pada harus membayar uang sewa lapak dan listrik.
"Sekarang juga semua ngeluh," ucapnya getir.
Jeki (38) salah satu penjual asesoris dari batu alam di Pasar Rawa Bening mengaku pada tahun itu, ia bisa mendapatkan omzet Rp100 juta dalam sehari. Dari jumlah kotor itu ia mengantongi Rp20 juta bersih.
![]() |
"Pendapatan tuh ya ratusan juta sekali untung. Sehari untung Rp20 juta gampang," kata Jeki sambil merangkai batu-batu biru menjadi gelang di kiosnya.
Saat permintaan pasar begitu tinggi, Jeki mendatangkan cincin titanium yang menjadi wadah batu akik dari China. Selain itu, ia juga merangkai kalung dengan mata batu akik. Barang ini begitu diburu oleh ibu-ibu.
Karena tren batu akik, banyak pedagang batu cincin di pasar Rawa Bening yang kaya mendadak. Tidak sedikit dari mereka lantas membeli mobil atau barang mahal lainnya.
Bahkan, beberapa dari mereka membeli kios Pasar Rawa Bening yang saat itu harganya meroket hingga Rp1,5 miliar. Padahal, ukurannya hanya sekitar 1,5 x 1,5 meter.
"Karena orang kan booming, prediksi orang makin ramai nih ke depan, Rp1,5 miliar murah kali ya waktu itu," kata Jeki.
"Orang kan itu lagi rame, jual tanah, jual rumah, beli cincin, simpen toko, setok sebanyak-banyaknya," lanjutnya.
Baca halaman selanjutnya...