Jakarta, CNN Indonesia --
Jarum jam masih menunjukkan pukul 06.00 WIB saat Jajang berangkat dari rumahnya di sekitar Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (17/6). Ia menarik gerobak sampah yang reyot dan mulai berkeliling. Dua bungkus roti dan satu botol teh dibawanya sebagai bekal.
Pagi itu, ada puluhan rumah di kelurahan itu yang didatangi ia. Setelah gerobak kecilnya dirasa sudah penuh, ia menuju tempat pembuangan sementara.
"Ini baru mau buang yang pertama. Ada 75 rumah, dua rit (bolak-balik) setiap hari," kata Jajang kepada CNNIndonesia.com, Kamis (17/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum sampai ke Tempat Pembuangan Sementara di Kalibata, Jajang berhenti di pinggir jalan. Ia memilah sampah yang dibawanya. Botol plastik, kardus hingga beberapa barang yang masih bisa dijual, disimpannya dalam karung yang telah disiapkan.
"Bayarnya beda-beda, ada yang Rp20 ribu (per bulan), ada yang Rp40 [ribu], kalau sampahnya banyak. Untuk makan sehari-hari ya dari barang-barang," ucapnya sambil memindahkan botol plastik.
Usai melahap roti yang dibawanya, ia membawa gerobaknya ke arah deretan truk berwarna oranye bertuliskan 'Dinas Lingkungan Hidup Pemprov DKI Jakarta.
"[Sampah] itu langsung dibawa ke Bantar Gebang. Saya dikasih tahu oleh sopir, sering dibilang Bantargebang mau penuh," kata dia.
Butuh sekitar 1,5 jam menuju Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, tempat pembuangan sampah akhir warga DKI. Semakin dekat ke lokasi, semakin banyak terlihat iring-iringan truk pengangkut sampah yang baknya ditutup terpal atau jaring.
Akses masuk ke tempat pembuangan sampah yang pengelolaannya telah diambil Pemprov DKI sejak 2016 itu tak lebar; hanya cukup untuk dua truk yang berlawanan arah. Aspalnya cukup mulus, meski ada jalan berlubang di sejumlah titik.
Setibanya di pintu gerbang utama, truk berjalan pelan, antre satu per satu untuk ditimbang beratnya di pos penimbangan. Penimbangan juga dilakukan untuk truk yang telah membuang sampah dan hendak keluar.
Masuk ke dalam beberapa meter, pemandangan gunungan sampah setinggi 30-50 meter telah menyambut, ditambah bonus bau tak sedap yang menyengat hidung.
Sementara di kejauhan, beberapa alat berat tampak mengais gunungan sampah, beriringan dengan pemulung yang memunguti barang-barang untuk ditukar jadi rupiah
Masa Kritis
Secara total, TPST Bantar Gebang memiliki luas 104,7 hektare. Terdiri dari enam zona landfill dengan luas 81,4 hektare, dan 23,3 hektare merupakan sarana prasarana. Dari enam, hanya empat zona yang aktif.
TPST ini merupakan tujuan akhir sampah warga Jakarta. Beroperasi sejak 1989, setidaknya berdasarkan data terakhir, ada sekitar 53 juta ton sampah dari Jakarta yang ditampung di sini.
 Infografis Wajah Pengelolaan Sampah Jakarta Di bantargebang. (Foto: CNN Indonesia/Fajrian) |
Tiga tahun terakhir, setiap harinya ada 1.200 truk dari Jakarta yang hilir mudik ke TPST ini. Jika ditotal ada 7.400-7.700 ton sampah yang dibawa per hari. Sebanyak 50 persen lebih sampah adalah sisa makanan, disusul plastik, kertas, dan sampah lainnya.
Pada 2019 lalu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta membuat kajian, saat itu, di empat zona yang aktif untuk tempat pembuangan, ketinggian gunungan sampah masing-masing adalah 33,59 meter; 46,99 meter; 44,50 meter dan 48,99 meter.
Kepala Unit Pengelola Sampah Terpadu (UPST) DLH DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan saat membuat kajian itu, pihaknya menargetkan agar gunungan sampah di empat zona tersebut tidak lebih dari 50 meter.
Apabila lebih dari 50 meter, kata dia, berpotensi menimbulkan dampak buruk
"Karena resiko longsor, kebakaran, semakin tinggi (gunungan) kan resiko longsor semakin tinggi juga. Kita inginnya batasin enggak lebih dari 50 meter. 50 meter itu udah ketinggian gedung 17," kata Asep, di kantor DLH DKI Jakarta, Rabu (16/6).
Dua tahun sejak kajian itu, Asep mengatakan ketinggian gunungan di empat zona sudah hampir 50 meter. Pandemi nyatanya tidak berpengaruh banyak terhadap penurunan sampah.
Asep tidak memungkiri kondisi tersebut sebagai fase kritis Bantar Gebang. sehingga harus dicarikan solusi. Bantargebang, kata dia, adalah satu satunya tempat pembuangan akhir sampah dari jutaan warga Jakarta, tak ada alternatif lain.
"Sekarang udah dua tahun kemudian, jadi ini sebenarnya udah masa kritis Bantar Gebang, dan memang harus segera dicarikan solusi," ujarnya.
Baca halaman selanjutnya...
Asep menuturkan Pemprov DKI setidaknya memiliki tiga strategi terkait pengelolaan sampah di Jakarta, yakni strategi di hulu, tengah, dan hilir. Tidak ada solusi membuka lahan baru.
Di hulu, Pemprov tengah menggencarkan kampanye kepada masyarakat untuk memilah sampah sejak dari rumah. Beberapa waktu lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga meluncurkan program Jakarta Sadar Sampah.
"Kita sudah ada Pergub 77 tahun 2020 itu sudah dibentuk lembaga pengelola sampah tingkat RW, dan saat ini sedang dilakukan ujicoba di 147 RW. Jadi di hulu kita gencar ajak masyarakat untuk pilah sampah, membangun bank sampah, ada TPS 3R," ujarnya.
Dengan pengelolaan di hulu, beban sampah yang setiap harinya dibawa ke Bantargebang dapat dikurangi.
"Pilot project di pesanggrahan itu, sekarang sudah hampir 2.500 KK (kepala keluarga) yang melakukan pilah sampah, itu bisa mereduksi sampah sampai 65 persen. Jadi hanya 35 persen yang dibuang ke Bantargebang," ujar Anies.
Strategi di tengah, yakni pembangunan empat fasilitas pengolahan sampah antara (FPSA) atau Intermediate Treatment Facility (ITF).
Pengolahan sampah dilakukan melalui perubahan bentuk, komposisi, karakteristik dan volume sampah dengan menggunakan teknologi pengolahan sampah yang diklaim tepat guna dan ramah lingkungan.
"Mengelola sampahnya jadi listrik. Di Sunter itu mengelola 2.200 ton sampah, menghasilkan listrik 34 megawatt. Dari sampah jadi energi," ujarnya.
Namun hingga 2021, proses pembangunan empat ITF yang direncanakan belum juga dimulai. Jika pun telah dimulai, proses pembangunan diperkirakan memakan waktu tiga tahun.
"Memang strategi di tengah belum jalan, penugasan pak Gubernur pada dua BUMD DKI untuk bangun ITF itu saat ini sedang berproses, belum final, dan memang ini pembangunan ini konstruksi bisa tiga tahun," kata dia.
Selagi menunggu ITF, Pemprov juga akan membangun fasilitas serupa berskala mikro di wilayah Tebet, Jakarta Selatan, yang akan dimulai beberapa bulan ke depan.
"Jadi kita coba mudah-mudahan kalau berhasil bisa direplikasi, paling tidak bisa mulai mengurangi sampah. Model nya sama dengan ITF, cuma kecil. Hanya 50-100 ton per hari. Kalau ITF itu skala di atas 1.000 (ton) semua," ujarnya.
Selanjutnya, lanjut dia, strategi di hilir atau di Bantar Gebang, DKI pada tahun ini akan membangun dua fasilitas pengolahan sampah. Satu fasilitas untuk mengolah sampah lama, dan satu fasilitas lagi untuk mengolah sampah baru.
Strategi ini diharapkan dapat mengurangi jumlah sampah sehingga akan menambah ruang baru.
"Tumpukan sampah lama itu kita olah 1.000 ton per hari, dan sampah baru yang masuk sekitar 7.700, kita coba olah 1.000 ton. Diolah jadi Refuse Derived Fuel (RDF) yang bisa dipergunakan untuk pabrik semen sebagai pengganti batu bara," ujarnya.
Untuk pengolahan skala kecil, Asep menyebut Pemprov telah memilikinya. Sementara, fasilitas skala besar tengah disiapkan proses pembangunannya.
"Insyaallah, kalau empat ITF jadi, paling tidak bisa mengelola hampir 7.400-7.800 ton [total sampah warga DKI per hari]," ujar Asep.
Masalah Baru
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi mengatakan kian menipisnya lahan di Bantar Gebang merupakan akibat dari pemerintah Provinsi DKI yang tidak bisa mengelola sampah.
"Betul memang bahwa Bantar Gebang itu kapasitas sudah tidak mumpuni, dan wacana itu sudah disampaikan oleh pemerintah. Tetapi kan wacana ini disampaikan, tujuan pemerintah agar membangun ITF," kata dia.
Pihaknya menolak rencana pembangunan ITF lantaran itu akan memunculkan masalah baru di Jakarta, yaitu pencemaran udara. Selain itu, juga menyalahi undang-undang.
 Infografis Perjanjian DKI dan Kota Bekasi soal TPST Bantargebang. (Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi) |
"ITF itu bukan hasil pengelolaan sampah sesuai Undang-Undang, karena sampah di UU dilarang dibakar, ITF kan dibakar. Walaupun dimasukkan Perda DKI itu dipaksain sama mereka," ujar Tubagus.
Pasal 29 UU Pengelolaan Sampah menyebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk "membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah."
Ia lebih lanjut merekomendasikan sejumlah hal kepada Pemprov DKI. Di antaranya, perbaikan tempat penampungan sampah (TPS) yang menggunakan sistem reuse, reduce, recyle atau TPS 3R di hulu.
"Kan mereka (Pemprov) sudah punya kebijakan larangan kantong plastik sekali pakai, nah, itu dievaluasi dong sama mereka, bagaimana prosesnya," ucap dia.
Pemerintah pun, katanya, harus mendorong agar pengelolaan sampah dibebankan pada produsen sampah itu sendiri.
"Di pusat, ada peraturan tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen, meskipun itu tidak ambisius. Harusnya pemerintah mendorong supaya produsen itu tidak lagi menggunakan pembungkus produk yang dari bahan plastik, mulai gunakan ramah lingkungan atau mereka kelola," tutup dia.