Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Hariyadi menolak praperadilan yang diajukan oleh eks bupati Talaud, Sulawesi Utara, Sri Wahyumi Maria.
Sri ditangkap dan ditahan oleh tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dugaan gratifikasi terkait proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Kepulauan Talaud pada 2014 sampai 2017.
"Mengadili, menolak permohonan tersebut dalam pokok perkara: satu, menolak permohonan praperadilan pemohon tersebut. Dua, membebankan biaya perkara kepada pemohon sebesar nihil," kata hakim tunggal Hariyadi membacakan putusannya di ruang sidang nomor 7, PN Jaksel, Selasa (22/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam keputusan tersebut, hakim mempertimbangkan bahwa dalil mengenai tidak sahnya penangkapan dan penahanan terhadap Sri ditolak oleh termohon, yakni KPK.
Lembaga antirasuah itu menghadirkan sejumlah alat bukti antara lain, surat perintah penangkapan bertanggal 28 April, surat bukti perintah penahanan bertanggal 29 April, surat bukti berita acara penahanan tersangka, dan berbagai dokumen lainnya.
"Maka dalil tidak sahnya penangkapan dan penahanan atas diri pemohon praperadilan tersebut telah terbantahkan," kata hakim Hariyadi.
Hakim juga mempertimbangkan pernyataan KPK bahwa penetapan tersangka terhadap Sri telah memenuhi sejumlah pasal dalam Undang-Undang KPK serta telah memenuhi 2 alat bukti.
"Maka pada saat pemohon ditetapkan sebagai tersangka telah memiliki 2 alat bukti yang sah sehingga dalil permohonan praperadilan tersebut tidak beralasan," kata Hakim Hariyadi.
Lebih lanjut, Hariyadi juga menyebut bahwa aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dipersoalkan Sri tidak termasuk dalam ruang lingkup praperadilan. Dugaan pelanggaran HAM itu, kata Haryadi, tidak perlu lagi dipertimbangkan.
"Sehingga dalil permohonan praperadilan tersebut telah ditolak," jelas Hariyadi.
Sebelumnya, eks Bupati Talaud, Sulawesi Utara Sri Wahyumi Maria ditangkap dan ditahan oleh KPK beberapa saat setelah ia bebas dari lapas kelas II A Tangerang pada 29 April lalu.
Sri dikurung di penjara tersebut selama 2 tahun. Mulanya, ia divonis 4,5 tahun dan denda 200 juta subsidair 3 bulan kurungan.
Ia terbukti menerima suap dari pengusaha Bernard Hanafi Kalalo dalam upaya memenangkan lelang pekerjaan revitalisasi Pasar Lirung senilai Rp2,965 miliar dan pekerjaan revitalisasi Pasar Beo senlai Rp2,818 miliar Tahun Anggaran 2019. Namun, hukuman itu dipotong setelah Peninjauan Kembali (PK) yang ia ajukan dikabulkan.
Sri lantas kembali ditahan pada hari yang sama karena ada proses penyidikan baru di mana ia diduga terlibat di dalamnya. Kasus tersebut berupa dugaan gratifikasi terkait proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Kepulauan Talaud.
Beberapa waktu setelah itu, Sri mengajukan praperadilan atas penangkapan dan penahanan dirinya. Ia menilai penangkapan dan penahanan itu tidak sah.
Menurut kuasa hukum Sri, Teguh Samudera, saksi yang diajukan pihak Sri, yakni mantan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semandawai, penangkapan yang dilakukan KPK merupakan pelanggaran HAM.
Menurut Teguh, KPK telah melanggar ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Kata ahli, karena unsur kepatutan harus dilakukan sehingga itu melanggar Hak Asasi Manusia," kata Teguh kepada CNNIndonesia.com, Rabu (16/6).
(iam/ain)