Seperti kasus yang dialami Frans Josua Napitu, mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang sempat diberi sanksi skorsing setelah melaporkan Rektor UNS Fathur Rokhman ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan anggaran kampus yang tak wajar.
Laporan tersebut disampaikan pada November 2020 dan berujung pemberian sanksi skorsing oleh kampus. Pihak Unnes berdalih sanksi skorsing bukan terkait laporan ke KPK, melainkan karena Frans terlibat dalam pergerakan simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
"Itu tudingan, tuduhan tak berdasar kepada saya. Yang saya lakukan lalu-lalu itu adalah solidaritas terhadap kasus rasisme yang dialami saudara kita, Papua. Itu kemanusiaan," kata Frans, Rabu (18/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah kasusnya ramai di media, sanksi skorsing dicabut oleh pihak kampus pada 28 Desember 2020. Frans bisa kembali aktif dalam kegiatan akademik.
Kemudian kejadian serupa menimpa Wahyu Krisna Aji, mahasiswa Universitas Nasional (Unas) yang menerima sanksi drop out (DO) setelah melakukan aksi menuntut keringan uang kuliah tunggal (UKT) pada Juni 2020.
Krisna menyebut para mahasiswa yang ikut aksi juga menerima intimidasi dan kekerasan fisik dari petugas keamanan kampus.
Ia juga mendapat tekanan berupa paksaan dan ancaman menandatangani surat pernyataan bahwa mereka mengaku bersalah dan tidak akan melanjutkan tuntutan.
"Teman-teman juga sempat dapat tindakan yang cukup parah. Karena barisan massa aksi diterobos oleh mobil dari pihak rektorat," kata Krisna beberapa waktu lalu.
Akibat demo tersebut Krisna bersama dua mahasiswa lain menerima surat keputusan DO dari kampus. Lalu tiga mahasiswa diskorsing dan sembilan mahasiswa mendapat surat peringatan keras dari kampus.
Merespon ramainya kasus ini di media, Rektor Unas El Amry Bermawi Putera mengatakan beberapa mahasiswa merusak fasilitas dan telah mencemarkan nama baik kampus. Ia juga melaporkan beberapa mahasiswanya ke Polres Jakarta Selatan.
"Sehingga sangat wajar apabila tindakan tidak terpuji ini kami laporkan ke pihak berwenang. Sebagai warga negara yang patuh hukum dan aturan perundang-undangan, kita wajib untuk menghormati jalannya proses hukum yang berlaku," kata El Amry.
Kemendikbudristek tak banyak ikut campur menanggapi polemik ini. Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Aris Junaidi mengatakan perkara itu perlu diselesaikan kampus secara internal.
"Untuk mahasiswa Unas yang demo kemudian didrop out dan lain-lain, memang itu semua otonomi kampus masing-masing," kata Aris beberapa waktu lalu.
(fey/fra)