ANALISIS

Lockdown dan Sulitnya Mengajak Pejabat Mendengar Sains

Dewi Safitri | CNN Indonesia
Jumat, 02 Jul 2021 13:05 WIB
Lockdown telah berkali-kali diserukan pakar agar kasus Covid di RI tidak meroket. Namun alih-alih lockdown, pemerintah menetapkan PPKM Darurat mulai besok.
Pemerintah menetapkan PPKM Darurat mulai Sabtu, 3 Juli. (CNN Indonesia/ Damar)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kamis (1/07) dini hari waktu Brisbane, Dicky Budiman masih melayani pertanyaan wartawan berbagai media di Jakarta.

Epidemiolog ini kecewa mendengar rincian rencana pemerintah Indonesia menyetop krisis Covid yang gawat setelah dirinya berkali-kali mengingatkan agar langkah penutupan wilayah (lockdown) segera diambil karena krisis makin serius.

"Kalau isinya sesuai yang beredar di medsos ini ya hanya namanya saja yang "PPKM Darurat" tapi isinya tak sepenuhnya mencerminkan respon terhadap situasi yang sangat darurat. Saya menyarankan lockdown, kalau pun turun (skalanya) ya PPKM Darurat itu WFH itu betul-betul 100 persen, tidak ada kecuali-kecuali-kecualinya. Di situ disebut kecuali "yang esensial" tapi ketika dilihat kriteria esensial itu ternyata banyak sekali. Ya sama saja itu memang tidak serius." kata Dicky yang sedang mengejar gelar PhD dari Universitas Griffith di Australia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski mengapresiasi keputusan ini, menurut Dicky kebijakan yang diambil lebih cocok dengan situasi setahun lalu ketimbang krisis saat ini.

Kamis siang, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Panjaitan merinci apa saja poin kebijakan PPKM Darurat tersebut.

Mulai dari pembatasan mobilitas hingga guliran bansos, menurut Menko Luhut diambil karena penularan Covid-19 yang makin ganas hingga kasus meroket.

"Karena jujur kita tidak pernah memprediksi setelah Juni tahun ini, akan terjadi lonjakan lagi. Karena inilah yang baru kita ketahui. Jadi banyak ketidaktahuan kita terkait Covid ini," kata Luhut dalam konferensi pers virtual.

Pernyataan ini janggal. Selain Dicky Budiman, tak terhitung ahli dan akademisi yang tanpa henti mengingatkan munculnya berbagai skenario gawat bila mobilitas publik tak dibatasi ketat pasca Ramadan dan Lebaran lalu.

Mereka menyerukan perluasan 3T (tracing testing, treatment), kampanye masif 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) dan percepatan vaksinasi.

Sebaliknya awal pekan ini, untuk menyebut satu contoh, Wakil Presiden Ma'ruf Amin justru masih mengajak publik berwisata ke Raja Ampat, Papua.

Pada hari yang sama tercatat lebih dari 20 ribu kasus baru dengan 423 korban jiwa diduga karena serbuan varian Delta yang mudah menular.

Seperti keengganan menggelar lockdown, dorongan berkampanye wisata di tengah darurat wabah mengisyaratkan ekonomi sebagai aspek terpenting dalam kebijakan pemerintah.

Kepentingan masing-masing

Penolakan terhadap lockdown diduga didasari oleh prediksi akan memburuknya ekonomi setelah sempat membaik awal tahun ini.

Yanuar Nugroho yang hingga akhir 2019 masih menjabat sebagai Deputi II Kantor Sekretariat Presiden menilai kontraksi ekonomi akibat lockdown sebenarnya bisa diperkecil dengan bertambahnya belanja pemerintah, konsumsi dan angka ekspor.

Toh keputusan tak kunjung diambil karena para pengambil kebijakan mengkhawatirkan jika lockdown gagal, peluang politik mereka bisa rusak.

"Anggota DPR enggan mengambil keputusan sulit begini, menteri-menteri yang mengincar Pilpres 2024 juga sama. Padahal mereka adalah pemegang posisi kunci kebijakan saat ini. ... Tidak ada yang benar-benar memikirkan bagaimana kita bisa keluar dari krisis Covid karena memikirkan kepentingan politik masing-masing," tulis Yanuar dalam publikasi terbaru Fulcrum.sg yang diterbitkan ISEAS, lembaga think-tank pemerintah Singapura.

Pemerintah Indonesia bukan satu-satunya yang punya masalah mengikuti saran sains.

(bersambung ke halaman selanjutnya...)

Beda Penanganan Covid di AS Era Trump dan Biden

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER