ANALISIS

Pesta Lurah Depok dan Setengah Hati Sanksi di PPKM Darurat

CNN Indonesia
Selasa, 06 Jul 2021 12:24 WIB
Tiga hari pertama pelaksanaan PPKM Darurat diwarnai pelanggaran baik yang dilakukan pejabat daerah hingga kantor-kantor nonesensial yang tetap meminta WFO.
Ilustrasi. Selama PPKM darurat berlangsung, pusat perbelanjaan, mal, dan pusat perdagangan nonesensial ditutup. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat Jawa dan Bali untuk menekan penularan Covid-19 selama tiga hari belakangan masih tampak maraknya pelanggaran di hampir tiap provinsi.

Pada hari pertama, Sabtu (3/7) saja sudah disuguhkan berita lurah di Depok, Jawa Barat, yang gelar pesta pernikahan. Belakangan, lurah tersebut kemudian diperiksa Satreskrim Polres Depok. 

Selain itu, dalam tiga hari terakhir, pelbagai tempat-tempat nonesensial masih beroperasi normal. Kemacetan masih terjadi akibat penyekatan di sejumlah perbatasan kota besar, seperti di Jakarta. Salah satu titik kemacetan parah terjadi di kawasan titik pos penyekatan Sumber Artha, Jalan Raya Kalimalang, Jakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemacetan karena penyekatan itu diduga karena sejumlah kafe, pertokoan hingga perkantoran di Jakarta yang bukan sektor esensial maupun kritikal masih beroperasi sejak pembatasan darurat diterapkan pada 3 Juli lalu.

Hal itu pula yang membuat Panglima Kodam Jaya, Mayjen TNI Mulyo Aji geram. Ia menilai masih banyak perusahaan nonesensial dan nonkritikal yang tetap buka saat penetapan PPKM Darurat.

Mulyo menilai, masih banyak penumpukan kendaraan di sejumlah titik penyekatan akibat masih banyak karyawan dari luar Jakarta yang hendak bekerja ke kantornya masing-masing di Jakarta. Polda Metro Jaya bahkan mengancam menerapkan sanksi pidana terhadap perusahaan yang tidak menerapkan aturan kerja dari rumah (Work From Home/WFH) di masa PPKM Darurat saat ini.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai banyaknya pelanggaran yang terjadi belakangan ini menunjukkan kebijakan PPKM Darurat masih setengah hati.

"Ini penyebabnya dari sisi kebijakan sendiri yang tak tegas menerapkan sanksi dan penindakan. Kalau implementasi kebijakannya setengah hati seperti itu bagaimana masyarakat mau mengikuti?" kata Trubus kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/7).

Trubus menilai pemerintah sekadar cakap untuk membuat peraturan secara tertulis selama pandemi. Namun, lagi-lagi masih gagap melakukan implementasi kebijakan di lapangan terkait penanganan wabah.

Ia menilai 'penyakit' pemerintah masih terus berulang di saat menangani wabah meski kebijakan sudah silih berganti. Di PPKM Darurat saat ini, kata dia, pemerintah juga lemah dalam pengawasan dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran di lapangan.

"Sejak pelaksanaan PSBB awal-awal dan PPKM , ganti lagi jadi PPKM Darurat, pengawasan kita lemah sekali. Yang tertulis kan harusnya diperketat, harusnya mobilitas masyarakat lebih dibatasi. Tapi itu jauh di implementasinya," kata dia.

Suasana perkantoran perbankan di Kawasan SCBD, Jakarta Pusat, Senin (5/7/2021). Dalam massa PPKM Darurat, perkantoran yang termasuk sektor esensial seperti  jasa keuangan, perbankan, pasar modal, sistem pembayaran teknologi informasi diberlakukan 50% maksimal WFO dengan protokol kesehatan yang ketat. (CNN Indonesia/ Adi Maulana)Dalam massa PPKM Darurat, perkantoran yang termasuk sektor esensial seperti jasa keuangan, perbankan, pasar modal, sistem pembayaran teknologi informasi diberlakukan 50% maksimal WFO dengan protokol kesehatan yang ketat. (CNN Indonesia/ Adi Maulana)

Lebih lanjut, Trubus menilai pemerintah seharusnya tegas menindak pelbagai pelanggaran yang terjadi. Pasalnya, pemegang otoritas yang sah untuk memberikan sanksi kepada masyarakat hanya pemerintah.

Salah satu contohnya, ia menilai pemerintah bisa memberikan sanksi bagi perusahaan nonesensial yang tetap mempekerjakan karyawannya ke kantor. Ia juga menegaskan pemerintah harus bisa mengawasi dengan ketat perusahaan-perusahaan yang masih 'membandel' saat PPKM Darurat.

Selain bertujuan mengurangi mobilitas masyarakat, Trubus juga mengatakan hal itu sesuai dengan Instruksi Mendagri yang mewajibkan seluruh pegawai perusahaan di sektor nonesensial untuk bekerja di rumah 100 persen.

"Lalu ada juga dalam Inmendagri itu kan ada 50 persen bisa bekerja di kantor untuk sektor esensial dan kritikal. Lah gimana pengawasannya? Apa betul 50 persen atau lebih? Kan enggak tahu. Pengawasannya lemah," kata dia.

Ketika sanksi enggak bisa dijalankan, peraturan itu enggak bisa dijalankan. Ini yang terjadi sekarangAgus Pambagio

Pemerintah Masih Pasif

Selain itu, Trubus mengkritik pemerintah selama ini terkesan pasif dalam mengawasi perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan PPKM Darurat.

Hal itu tak lepas dari ucapan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang meminta karyawan melaporkan perusahaannya jika dipaksa bekerja dari kantor (work from office/WFO) selama PPKM Darurat.

Menurut Trubus malah seharusnya pemerintah yang proaktif dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan nonesensial dan nonkritikal yang mempekerjakan karyawannya ke kantor.

"Bukan justru pasif. Yang diomongin Pak Luhut cuma ngeles doang. Sekadar enggak mau disalahkan. Harusnya lakukan penelusuran. Langsung tindak di situ," kata Trubus.

Senada, Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio menilai lemahnya pemerintah dalam mengawasi dan menindak pelanggaran dalam PPKM Darurat akibat dasar hukum PPKM yang tidak kuat.

Agus menilai, peraturan PPKM yang hanya berbasis kebijakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Surat Edaran tak cukup untuk menindak pelanggaran yang terjadi. Ia menilai seharusnya aturan PPKM ditegaskan melalui peraturan perundang-undangan.

"Soal pandemi ini diatur hanya melakukan Surat Edaran. Ada Surat Edaran Menteri, Satgas dan lainnya. Bahkan ada Inmendagri buat PPKM darurat. Dua instrumen itu enggak ada di UU 15 tahun 2019 [pembentukan perundang-undangan]," ucap Agus.

Agus menilai kebijakan PPKM Darurat akan sukses bila pengawasan dan saksi yang diatur diterapkan secara maksimal. Namun, kenyataannya saat ini berkebalikan. Saksi yang seharusnya dijatuhi tak bisa dijalankan oleh petugas pelaksana di lapangan.

"Karena orang Indonesia cuek. Kalau dia enggak dikasih sanksi, dia enggak berhenti. Ketika sanksi enggak bisa dijalankan, peraturan itu enggak bisa dijalankan. Ini yang terjadi sekarang," kata dia.

Buka halaman selanjutnya Seperti Bukan Kondisi Darurat.

 



Seperti Bukan Kondisi Darurat

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER