Senada, Nisa, bukan nama sebenarnya, pegawai di perusahaan pengembang di DKI Jakarta, mengaku sering berpikir ingin mengadukan perusahaannya ke pemerintah.
Pada akhirnya, ia selalu mengurungkan niatnya itu setiap ingat insiden perusahaan mengancam memotong gaji pegawai ketika ada yang meminta pulang lebih dulu usai kasus Covid-19 salah satu rekannya di kantor.
"Waktu itu di kantor ternyata ada yang positif, terus mengajukan pulang [duluan], mau dipotong gaji, aduh," ceritanya kepada CNNIndonesia.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nisa mengatakan selama pandemi kantornya menerapkan 75 persen WFO untuk pegawai. Ini pun berlaku pada beberapa hari pertama PPKM Darurat meskipun perusahaannya bukan di sektor esensial.
Buntutnya, kata dia, sejumlah pegawai didapati positif covid-19. Namun kantor tidak memfasilitasi swab atau upaya telusur atau tracing bagi yang kontak erat dengan pegawai yang terpapar.
Bahkan, pegawai tidak diizinkan WFH untuk isolasi mandiri sebagai antisipasi jika turut terpapar karena kontak erat di kantor.
"Bingung sih waktu itu harus gimana. Mau minta difasilitasi antigen paling nggak, tapi management belum ada peraturan jelas protokol kalau ada yang positif," tuturnya.
Pada akhirnya, Nisa mengatakan kantor memutuskan kebijakan WFH untuk seluruh pegawainya karena banyaknya pegawai yang terpapar Covid-19.
Tawaran fasilitas swab pun diberikan, namun dengan ketentuan dan syarat yang menyulitkan pegawai mendapatkan fasilitas swab tersebut.
Selama penerapan PPKM Darurat pemerintah menerapkan WFH 100 persen kecuali untuk perkantoran di sektor esensial dan kritikal.
Namun pada beberapa hari awal penerapan PPKM Darurat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih menemukan kantor di sektor non esensial yang masih WFO.
Sementara penerapan WFO di kantor di sektor esensial dan kritikal harus dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat.
(fey/arh)