Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk menekan laju penyebaran Covid-19 bakal segera berakhir pada 20 Juli mendatang. Sejak diterapkan 3 Juli 2021 hingga Kamis (15/7) kasus positif Covid-19 menunjukkan peningkatan drastis.
Kebijakan PPKM Darurat hanya nyaring di atas kertas. Pemerintah seperti menembakkan peluru hampa, bersuara keras mengimbau dan memberikan ultimatum kepada masyarakat, tapi tanpa disertai tindakan tegas penegakan hukum.
Ketua Bidang Data dan IT Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Dr. Dewi Nur Aisyah berdalih peningkatan kasus positif disebabkan karena penurunan tingkat kepatuhan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan. Kata dia, data per Juli 2021 menunjukkan masih terdapat sekitar 30 persen Kelurahan/Desa dengan tingkat kepatuhan protokol kesehatan rendah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Rabu (14/72021) melaporkan jumlah kasus terkonfirmasi positif bertambah 54.517 kasus dengan 991 kematian. Ini adalah angka tertinggi sejak kasus Covid-19 pertama kali dilaporkan di Indonesia.
Di tengah carut marutnya pelaksanaan PPKM Darurat di Lapangan, pemerintah disarankan agar tak kendur dalam menerapkan PPKM Darurat. Saatnya pemerintah bertindak tegas dalam pelaksanaan PPKM darurat.
Epidemiolog Hermawan Saputra berpendapat pemerintah tak memiliki pilhan lain, selain memperpanjang masa penerapan PPKM Darurat ini. Sebab, berdasarkan data, kasus aktif jumlahnya lebih dari 440 ribu dan kasus suspek hampir menyentuh angka 200 ribu.
Merujuk pada data tersebut, kata Hermawan, dapat dikatakan bahwa situasi PPKM darurat masih belum terkendali.
"Kalau enggak diperpanjang, sekarang saja sudah jebol kan pelayanan kesehatan, jadi terjadi turbulensi, sistem kesehatan kita sudah tidak sanggup kalau tidak diperpanjang ya kolaps betul-betul," kata Hermawan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (14/7) malam.
Lihat Juga : |
Menurut Hermawan, kebijakan PPKM Darurat pun sebenarnya tidak mampu untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Kata Hermawan, kebijakan ini hanya akan berdampak untuk melandaikan jumlah kasus positif semata.
"Atau menunda kasus sementara saja, karena tidak menyeluruh, kan sifatnya spasial dan terkesan parsial. Jadi PPKM Darurat itu kalau kita lihat baru berdampak dua pekan sampai tiga pekan penerapannya, baru melihat dampak dari kebijakan kemarin," ujarnya.
Namun, jika melihat kondisi saat ini, Hermawan berpendapat bahwa penurunan kasus positif Covid-19 lewat kebijakan PPKM Darurat ini tidak akan terlalu signifikan.
Apalagi, lanjut Hermawan, PPKM Darurat ini sifatnya spasial dan tidak berlaku menyeluruh. Termasuk, soal upaya pembatasan mobilitas yang menjadi salah satu poin dari kebijakan ini.
"PPKM dari dulu mau dinamakan dipertegas, dipertebal atau darurat hanya pada volumenya saja pembatasan, tapi prinsip daripada mobilitas semuanya tetap terbuka kan, jangankan mobilitas dalam negeri, orang dari luar negeri saja masuk terus, padahal dari situ pintunya, dari semua keterbukaan itu tetap saja kan ada transmisi penularan karena mobilitas," tuturnya.
Lebih lanjut, Hermawan berpendapat bahwa semestinya pemerintah menerapkan kebijakan lockdown dibanding PPKM Darurat. Menurutnya, lockdown hanya perlu diterapkan dalam waktu tiga minggu saja untuk dapat menekan laju penyebaran Covid-19.
"Lockdown regional hanya butuh waktu dua sampai tiga minggu tapi berlaku menyeluruh sepulau Jawa misalnya ya, dan dilakukan secara komitmen dan konsisten, walaupun ada kerugian ekonomi tapi lebih terukur ketimbang kita terkatung-katung berlama-lama kerugian ekonomi membengkak juga, belum lagi kerugian sosial," ucap Hermawan.