ANALISIS

Endorse Obat Covid dan 'Overlap' Pejabat di Kala Pandemi

CNN Indonesia
Sabtu, 17 Jul 2021 11:22 WIB
Promosi merek obat tertentu terkait Covid-19 oleh para pejabat dinilai sebagai bukti motif ekonomi lebih kental daripada fokus penanganan pandemi.
Ilustrasi obat. (Foto: Istockphoto/ Moussa81)
Jakarta, CNN Indonesia --

Alih-alih meng-endorse obat merek tertentu yang kental dengan motif ekonomi di masa pandemi, para pejabat pemerintah diminta fokus menyiapkan fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, dalam menghadapi lonjakan kasus Covid-19.

Positif Covid-19 harian di Indonesia per Kamis (15/7) mencapai rekor tertinggi dengan 56.757 kasus. Di saat yang sama, kasus kematian terkait Corona secara total mencapai 70.192 orang.

Di saat yang sama, sejumlah pejabat pemerintah malah asyik promosi dan endorse obat yang diklaim bisa menangani Covid-19.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Misalnya, pada 21 Juni, Menteri BUMN Erick Thohir mempromosikan Ivermectin sebagai obat terapi Covid-19 yang sudah mendapat izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Senada, Kepala Staf Presiden Moeldoko mengaku sudah berkali-kali mengkonsumsi Ivermectin, yang sebenarnya merupakan obat cacing parasit, untuk menangkal Covid-19.

Padahal, BPOM sejauh ini mengaku belum menerbitkan izin penggunaan darurat (EUA)-nya sebagai obat terapi Covid-19.

Setahun lalu, Presiden Joko Widodo juga sempat mengatakan Chloroquine ampuh menyembuhkan pasien Covid-19 hingga memborongnya. Namun, WHO kemudian menghentikan uji coba Hydroxychloroquine lantaran tak manjur untuk kasus Corona.

Di luar itu, dunia maya digegerkan dengan peredaran paket obat pasien Covid-19 hasil kerjasama Universitas Airlangga, Badan Intelijen Negara (BIN), dan TNI.

Yakni, Kombipak Yudhacov-2 yang setiap kemasan terdiri dari empat kaplet salut Loriviad dan dua kapsul Doxycycline. Tiap kaplet salut Loriviad mengandung Lopinavir/Ritonavir 200/50 milligram. Dan tiap kapsul Doxycycline mengandung Doxycycline sebanyak 100 milligram.

Lagi-lagi, obat ini tak terdaftar dalam izin edar BPOM.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai gaduh endorse berbagai obat oleh pejabat itu membuktikan ada niat mengeruk untung kala pandemi.

"Motifnya bukan untuk mengendalikan pandemi atau menolong, motifnya ekonomi. Tapi supaya terlihat aman, ditekanlah BPOM," kata Pandu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (16/7).

Tekanan itu salah satunya berkaitan dengan 'pemaksaan' izin penggunaan beberapa jenis obat, salah satunya Ivermectin.

"Pertama kan obat keras harus diregulasi lagi. Kan enggak boleh bisa beli borong atau stok. Semua pembelian harus sesuai resep," kata dia.

Pandu pun meminta pemerintah fokus pada kebijakan penanganan pandemi dan bukan malah memicu tumpang tindih kewenangan urusan obat.

"Pemerintah enggak perlu urusi obat di masyarakat. Urusi saja yang di Rumah Sakit. Yang bisa beri obat itu dokter di Rumah Sakit yang merawat pasien. Pemerintah harusnya urus pencegahan, bukan urus obat," kata dia.

Serahkan Pada Ahlinya

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER