Dihubungi terpisah, Co-Founder Kawal Covid-19 Elina Ciptadi memberikan sejumlah solusi agar pelaporan kasus kematian Covid-19 di Indonesia tak melulu harus ada data tertunda (delay) dan berbeda data antara daerah dan pusat. Utamanya, pemerintah menurutnya perlu menghapuskan opsi verifikasi berjenjang yang dilakukan selama ini.
Elina menjelaskan, dalam praktiknya pemerintah mendapatkan data kematian Covid-19 melalui alur yang panjang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, laboratorium pemeriksaan Covid-19 melaporkan data kepada Dinkes Kabupaten/Kota, kemudian Dinkes melaporkan ke Dinkes Provinsi, dan selanjutnya berjenjang melaporkan ke Kementerian Kesehatan melalui aplikasi New All Record (NAR).
Dalam setiap tahapan itu, terdapat verifikasi lanjutan, sehingga kemungkinan jumlahnya akan terus berkurang ketika semakin merujuk ke atas. Sebab sebagaimana diketahui Kemenkes memastikan pelaporan data kematian Covid-19 di Indonesia tidak menghitung kasus probable dan suspek.
"Poin masalahnya karena ada verifikasi berjenjang, padahal yang namanya positif Covid-19 bisa ambil dari laboratorium langsung," kata Elina.
Elina menyarankan kepada pemerintah agar menetapkan definisi kematian serentak baik pemerintah daerah dan pusat, dengan mengikuti standar aturan dari WHO. Bahwa setiap warga yang memiliki gejala klinis, positif Covid-19 meski memiliki komorbid, tetap masuk dalam data kematian.
Elina mengungkapkan pada 2020 lalu ada beberapa daerah yang sengaja mengeluarkan warga terinfeksi Covid-19 dengan komorbid dari data kematian Covid-19 daerah. Pada Kalimantan Barat misalnya, saat itu Kabupaten Sintang melaporkan kumulatif kasus kematian Covid-19 mencapai 131 kasus, sementara data provinsi Kalbar mencatat kasus kematian hanya 125.
Dinkes Kalbar lantas menjelaskan bahwa perbedaan data tersebut terjadi karena ada beda persepsi antara provinsi dengan pemerintah kabupaten dan kota, khususnya di rumah sakit.
Jika ada pasien yang terkonfirmasi positif dan meninggal dunia, pihak rumah sakit di kabupaten dan kota, akan memasukkannya ke dalam data, sebagai pasien meninggal karena Covid-19. Namun, saat data tersebut dikirim ke Satgas Penanganan Covid-19 Kalbar, akan kembali dikaji dan dipelajari rekam medis terkait komorbidnya.
"Jadi kan ini aneh ya ketika data kabupaten/kota lebih besar dari data provinsi itu," kata Elina.
Elina juga mempertanyakan fungsi dari rapid test antigen yang resmi digunakan sebagai metode skrining sejak Maret lalu, namun tidak digunakan dalam kasus kematian. Mudahnya, apabila warga tersebut probable, maka rumah sakit dapat melakukan tes rapid antigen sehingga hasilnya dapat keluar secara cepat.
Dengan begitu, status kematian warga tidak perlu menunggu hasil laboratorium PCR swab yang relatif lebih lama. Pun ada akhirnya, data pelaporan dapat dilakukan secara real time.
"Rapid test antigen bisa dipakai seharusnya, dengan begitu tidak ada waktu tunggu. Syukur-syukur kalau negatif Covid-19 bisa dimakamkan tanpa prokes oleh keluarganya jadinya," jelasnya.
Lebih lanjut, untuk solusi kedua, Elina menyebut pemerintah bisa memanfaatkan data rata-rata 7 harian atau 14 harian. Dengan pemodelan itu, grafik kematian Covid-19 dapat dilihat secara jelas naik turunnya atau yang mendekati kondisi di lapangan.
Sementara grafik data kematian saat ini belum tentu menunjukkan kondisi sebenarnya menurut Elina, hal itu juga menjadi keraguan pemerintah sehingga memutuskan menghapus angka kematian Covid-19 dalam indikator penilaian.
Elina menjelaskan, delay data disebabkan karena laboratorium terlambat memasukkan data ke dalam sistem. Delay itu, kata dia, rata-rata biasanya 3-7 hari. Lantas, dengan pemodelan rata-rata 7-14 hari itu, maka menurutnya grafik kasus akan terlihat merata sehingga dapat dianalisis naik-turunnya.
"Kan seperti kasus Jawa sudah turun hampir sebulan, tapi tingkat kematian belum turun. Mestinya kalau kasus turun, 2 minggu kemudian kematian turun, kan banyak yang sembuh dan RS tidak kelimpungan. Ini berarti masih banyak kasus yang telat dideteksi atau malah tidak terdeteksi sama sekali," pungkasnya.
(khr/kid)