HUT RI KE-76

Amir Syarifuddin: Orang Kiri dan Internasionale Jelang Mati

CNN Indonesia
Selasa, 17 Agu 2021 11:23 WIB
Pernah menjadi Perdana Menteri Indonesia, Amir Syarifuddin dikenal sebagai politikus ulung nan licin. Mati diujung bedil tentara Republik.
Mantan Perdana Menteri Indonesia, Amir Syarifuddin dikenal sebagai politikus ulung nan licin namun harus dihukum mati karena terlibat pemberontakan di Madiun 1948 (Onbekend / DLC via Wikimedia Commons (CC BY-SA 3.0 NL))
Jakarta, CNN Indonesia --

Memilih simpang kiri jalan, petualangan politik pada akhirnya membawa Amir Syarifuddin Harahap ke lubang penderitaan. Amir merupakan pejuang, sosok penting dalam sejarah, seperti juga Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir sebelum prahara 1948 di Madiun membuatnya terpinggirkan.

Lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907, Amir dibesarkan sebagai seorang muslim. Dalam catatan sejarah, Amir disebut sebagai muslim taat yang menjadi politikus licin di kemudian hari.

Amir terpelajar berkat pendidikan Belanda. Dia memulainya di Europeesch Lagere School (ELS) atau sekolah berbahasa Belanda di Medan yang diperuntukkan golongan keluarga terpandang pada 1914-1921.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berbekal intelektualitas Amir kemudian melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda. Dia mendapat tawaran saudaranya, Todung Sutan Gunung (TSG) Mulia, yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad.

Pria yang gemar menghisap tembakau dengan pipa cangklong itu menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Harleem dan aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok Kristen. Satu di antaranya CSV-op Java yang menjadi cikal bakal Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).

Amir tak bisa menamatkan pendidikan di Leiden karena masalah keluarga. Pada 1927 ia kembali dan melanjutkan studi dan lulus dari Sekolah Tinggi Hukum di Batavia (Jakarta).

Pindah Agama

Pada usia 24, tepatnya tahun 1931, Amir memutuskan untuk pindah keyakinan atau agama. Proses itu terjadi seiring ketertarikan Amir dengan gerakan kiri.

Meski berpindah keyakinan, Amir tetap menjadi seorang yang taat. Menurut Amir, komunisme dengan ajaran Kristen tak perlu dipertentangkan karena keduanya membicarakan kemanusiaan.

Sejarawan Andi Achdian menilai hal tersebut merupakan proses pencarian personal secara spiritual yang lazim dilakukan oleh tokoh-tokoh besar. Amir mencoba mencari jawaban terhadap persoalan yang dihadapi.

"Amir punya karakter untuk mencari semacam kebenaran spiritual terhadap posisinya. Itu hal yang umum di antara kita bahwa kita mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan juga hal yang kita anggap cocok dengan diri kita," ujar Andi kepada CNNIndonesia.com, Rabu (11/8).

Ia berujar tak ada yang mesti dipertentangkan antara komunisme dengan suatu agama tertentu. Sebab, pemahaman komunisme pada masa itu bukan merupakan antitesis terhadap agama sebagaimana yang berkembang belakangan ini.

"Kalau dalam konteks masyarakat saat itu, dia [komunisme] menjadi sebuah jawaban. Orang mencari jawaban terhadap situasi pada masa kolonial yang bisa keluar dari masalah dan jawabannya saat itu, ya, PKI, komunisme, yang paling di depan katakanlah dalam menyuarakan antikolonialisme dan antiimperialisme," kata Andi.

Manuver Amir

Peran Amir di masa pergerakan nasional terbilang penting. Kongres Pemuda II yang menelurkan ikrar Sumpah Pemuda tahun 1928 menjadi titik tolak Amir dalam perjuangan meraih kemerdekaan.

Ia turut berperan serta dalam agenda tersebut mewakili Jong Sumatra dan ikut membidani kelahiran Jong Batak. Amir menjadi Bendahara.

Amir sempat bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) Sukarno sebelum menggagas Partai Indonesia (Partindo) seiring PNI dibubarkan. Pada Mei 1937, Amir bersama rekannya seperti Adnan Kapau Gani, Mohammad Yamin, Sanusi Pane, dan lainnya membentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), sebuah kelompok berpaham kiri yang antifasis.

Dalam buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan yang diangkat dari skripsi Soe Hok Gie, Amir ditangkap pemerintah Hindia Belanda pada 1940. Ia diberi pilihan, diasingkan ke Boven Digoel atau bekerja sama dengan pemerintah melawan fasisme Jepang. Setelah berkonsultasi dengan Gerindo, Amir memilih pilihan kedua.

Amir diberikan 25 ribu gulden oleh Van Der Plass untuk menjaring kekuatan bawah tanah.

Dalam pertemuan di Rawamangun, Jakarta, bersama dengan sejumlah tokoh seperti Pamudji (tokoh PKI ilegal), Subekti dan Atmadji (Gerindo), Sujoko (Barisan Rakyat Solo), Widarta (Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia), Kiai Mustofa, serta Liem Koen Hian, lahir sebuah Gerakan Rakyat Antifasis (Geraf).

Gerakan bawah tanah itu pada kenyataannya mudah terbongkar oleh Jepang, yang ketika itu sudah mengambil alih pemerintahan Hindia Belanda. Pada 1943, Amir bersama sejumlah orang di kelompoknya ditangkap. Amir dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Jepang, namun selamat berkat intervensi Sukarno dan Hatta.

Amir diberikan kepercayaan oleh Sukarno untuk menjadi Menteri Penerangan pada 2 September 1945 hingga 12 Maret 1946 di Kabinet Presidensial. Pada masa itu, ia mengeluarkan maklumat tentang kebebasan pers.

Berlanjut ke halaman berikutnya...

Mantan Perdana Menteri Dieksekusi Mati

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER