Menurut Darto, Serbuan Kotabaru diawali perundingan semalam jelang penyerbuan yang melibatkan Kepala Kepolisian Yogyakarta R.P Soedarsono, Sunjoyo, Umar Joy, Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Moh. Safeh dan pengurus Badan Keamanan Rakyat (BKR) dengan Mayor Otsuka, sang Butaico atau Kepala Angkatan Pertahanan Jepang.
Mereka mendesak pasukan Jepang di Markas Batalyon Kotabaru menyerahkan senjata secara sukarela ke pihak Indonesia. Sayang, tiada titik temu dari berjam-jam perundingan ini.
"Waktu itu Soedarsono perundingan deadlock. Itu idenya Pemuda Pathuk, kalau malam ini deadlock, apa pun juga serbu. Termasuk tokoh-tokoh pemuda yang militan, ulama, komplit," ungkap Darto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bentrok militer Jepang versus ribuan rakyat plus pemuda yang digerakkan oleh Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Barisan Penjagaan Umum (BPU), BKR dan Polisi Istimewa akhirnya tak terhindarkan. Kaum republikan menerjang tembakan mitraliur penjajah meski sebagian cuma bersenjatakan golok, bambu runcing, tombak, keris, pentung dan sejenis.
Beribu orang menyerbu. Jepang terdesak dan takluk. Lantas berkibarlah bendera merah putih di udara.
Pejuang yang gugur dalam pertempuran ini telah diabadikan sebagai nama jalan seperti I Dewa Nyoman Oka, Farida M Noto, Sabirin, Abu Bakar Ali, Sunaryo. Satu tetenger atau monumen didirikan Sultan HB X di kompleks Asrama Korem 040 Pamungkas, Jalan Wardhani, Kotabaru, pada 7 Oktober 1988, sebagai pengingat serbuan ini.
Bawah tanah bukan berarti tak kasat mata. Gaung dan kiprah para aktivis Pathuk tetap terdengar oleh Presiden Pertama RI Sukarno.
Komandan SWK 101 Letnan Marsudi semasa hidupnya pernah bercerita pada Darto tentang Sukarno yang mengucap terima kasih kepada Kelompok Pathuk pada 1946. Tepatnya ketika Sukarno berkantor di Yogyakarta usai terjadinya perpindahan Ibu Kota RI. Darto tak merinci kepada siapa Bapak Proklamator itu berucap.
"Yogyakarta termasyhur karena jiwa perjuangannya. Itu karena banyak kontribusi orang-orang Pathuk. Menyampaikan begitu sama grupnya anak-anak Pathuk," beber Darto.
Pergerakan Kelompok Pathuk memudar setelah 1948, saat Yogyakarta kembali berkecamuk usai Agresi Militer Belanda II. Angin perpolitikan terlanjur menuntun organ inti perkumpulan ini menempuh jalan masing-masing. Beberapa akhirnya berseberangan.
"Tahun 1948 kan setelahnya timbul multipartai," sebutnya.
Di kemudian hari, para aktivis Pathuk banyak berpindah ke luar Yogyakarta. Sunjoyo yang dituduh terlibat dalam gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) melarikan diri ke Belanda. Baru setelah Orde Baru berkuasa, dia pulang dan bergabung dengan Soeharto.
"Tapi, pada masanya dampak perjuangan Kelompok Pathuk ini nampak sekali. Konsep mereka bahwa kebersamaan memperjuangkan pemerintahan itu ada. Mereka berjuang betul," tutupnya.
(kum/bmw)