Grup Pathuk, Gerakan Bawah Tanah Kemerdekaan di Yogyakarta
Jepang belum sepenuhnya angkat kaki dari Yogyakarta kala Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pasukan Kekaisaran masih menguasai berbagai sarana vital, sampai sebuah gerakan tanpa label mendalangi pengibaran Bendera Merah Putih untuk menyudahi hegemoni tentara Nippon di Yogyakarta.
"Orang menyebutnya Kelompok Pathuk. Sebetulnya sebutan ini tidak ada dari dulu, tapi sebutan orang-orang sekarang karena basisnya di Kampung Pathuk, Malioboro itu," kata pakar sejarah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Margana kepada CNNIndonesia.com, Selasa (10/8).
Kelompok Pathuk adalah salah satu jejaring perlawanan tingkat daerah yang turut diarsiteki oleh Sutan Sjahrir lewat jalur kaderisasi kaum pergerakan bawah tanah. Isinya mayoritas pemuda terpelajar berpaham sosialis yang menolak ide kooperatif dengan Jepang.
Beberapa pentolan gerakan ini antara lain Sunjoyo, KRT Yosodiningrat, Umar Joy, Dayino, Muhammad Tohib, bahkan Sjam Kamaruzzaman yang kelak dikenal sebagai figur kunci PKI.
Ada pula Soeharto Presiden Ke-2 RI yang kala itu masih menjadi Komandan Batalyon X berpangkat Mayor. Para intelektual ini terhubung lewat koneksi antarindividu mulanya.
"Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang memiliki ideologi masing-masing. Tapi, umumnya mereka yang tertarik ke ideologi sosialis. Mereka tak menamakan diri membuat semacam partai, enggak. Mereka underground," imbuh Margana.
Kata Margana, aktivis Pathuk lebih sering duduk di meja diskusi ketimbang terlibat kontak senjata. Mereka merundingkan langkah meraih dan mempertahankan kemerdekaan, termasuk menyiapkan kader-kader yang akan menjalankan tugas negara.
Sjahrir dan kelompoknya sudah jauh hari mengendus Jepang terdesak oleh sekutu di Perang Dunia II. Mereka percaya Indonesia segera terbebas dari belenggu serdadu Nippon, sehingga mubazir rasanya jika harus jatuh lebih banyak korban lagi karena adu pelor.
Sunjoyo lebih banyak mengambil porsi komando selama pergerakan Kelompok Pathuk di Yogyakarta. Dia merupakan pekerja di bidang telekomunikasi. Sunjoyo mengoordinir, menghimpun, dan memobilisasi massa lewat jaringan sesama buruh dan pegawai lintas sektor serta simpatisan senasib lainnya.
Berselang pekan usai proklamasi kemerdekaan, Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengumumkan wilayahnya menjadi bagian dari Indonesia lewat Amanat 5 September 1945. Keputusan tersebut menjadi momen fundamental bagi Indonesia yang membutuhkan banyak bantuan selepas merdeka.
Kelompok Pathuk pada saat bersamaan jengah melihat Jepang masih bercokol di perusahaan, pabrik, perkantoran. Bahkan juga Gedung Agung yang dahulu dikenal sebagai Cokan Kantai.
Syahdan 21 September 1945 meletus peristiwa penurunan bendera Hinomaru di atas atap Gedung Cokan Kantai, digantikan oleh Bendera Merah Putih. Kelompok Pathuk mengatur gelombang massa mengibarkan bendera Indonesia untuk pertama kalinya di Yogyakarta.
"Mereka berani mengibarkan bendera Merah Putih di Kantor Presiden (Gedung Agung) pada saat orang-orang Jepang masih di situ pegang senjata. Itu tindakan pertama setelah Sultan mengumumkan jadi bagian RI dan keraton belum mengibarkan Merah Putih, ini yang pertama, jadi sensasional," ucapnya.
Margana berujar, ada lobi-lobi Soeharto yang menjamin keamanan Kelompok Pathuk dan massa aksi dari tentara Jepang waktu itu. Di samping itu kaki tangan Tenno Haika Hirohito tak mampu banyak berkutik usai takluk dari Sekutu dalam palagan akbar Perang Pasifik.
"Dia (Kelompok Pathuk) memperkuat keinginan rakyat Jogja, mendukung keinginan Sultan untuk menyatakan diri menjadi bagian dari RI dan ikut menggerakkan semangat pemuda terutama. Karena kalau di Jogja ini kan Sultan masih tetap memiliki peran penting. Kalau Sultan belum bersikap, sulit merespons Jakarta," paparnya.
Manuver aktivis Pathuk di Yogyakarta berlanjut. Jejak mereka bagaimanapun tak banyak tertuang ke dalam catatan sejarah. Mengingat peran mereka yang lebih dominan di belakang layar.
Berlanjut ke halaman berikutnya...