Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Yeni Rosa Damayanti mengatakan masih menemukan kasus pemasungan hingga kurung paksa pada penyandang disabilitas mental atau Orang Dengan Gangguan Kejiwaan (ODGJ) di Indonesia.
Yeni mengatakan temuan PJS sebanyak 11.049 kasus kekerasan kepada penyandang disabilitas mental di 190 panti sosial hingga awal Agustus 2021. Pihaknya menduga masih banyak kasus kekerasan pada penyandang disabilitas mental di lapangan yang belum terungkap.
"Temuan kami hingga Agustus 2021 ini ada 11.049 kasus kekerasan pada penyandang disabilitas mental, saya yakin angkanya lebih banyak hanya belum terungkap," kata Yeni dalam webinar bersama Komnas HAM, Jumat (27/8).
Dari temuan kasus kekerasan tersebut, pemasungan, pengurungan dalam ruang sempit, hingga pemaksaan sterilisasi masih banyak ditemukan. Yeni juga menyampaikan, masih ada upaya penggundulan paksa hingga kekerasan seksual pada penghuni panti perempuan.
Beberapa kasus bahkan ditemukan tak lagi berhubungan dengan keluarga karena panti sosial tidak mengizinkan komunikasi dengan pihak luar.
"Mereka dibiarkan dalam kurungan seperti penjara, tidak tahu kapan bisa keluar, terputus kontak dengan keluarga. Bahkan narapidana saja tahu kapan mereka bebas," kata Yeni.
Pihaknya juga menyampaikan, banyak kasus kekerasan pada penyandang disabilitas mental sebenarnya bukan masalah baru. Kondisi tersebut dinilai sudah ada sejak lama, namun tak mendapat perhatian utama pemerintah.
"Salah satu kondisi kekerasan terhadap warga negara yang paling kejam namun hampir belum ada kelompok HAM ataupun pemerintah yang fokus berbicara masalah ini. Padahal kejadian ini sudah berjalan lebih dari berpuluh tahun," tutur Yeni.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihaknya juga menyampaikan bahwa masalah kekerasan pada penyandang disabilitas mental di panti sosial sejatinya juga tanggung jawab negara karena menyangkut hak hidup warga negara.
"Sedikitnya ada belasan ribu orang WNI di panti sosial tersebut. Tapi kekerasan ini dibiarkan oleh pemerintah, jadi saya anggap sudah terjadi pelanggaran HAM yang dibiarkan oleh pemerintah pada warga negara," tuturnya.
Yeni menjelaskan ada dua jenis panti sosial berdasarkan kepemilikannya. Pertama, panti sosial milik negara yang berada di bawah naungan Kementerian Sosial (Kemensos), dan panti sosial swasta yang dimiliki perorangan.
Berdasarkan temuan tim PJS, kasus pemasungan banyak ditemukan di panti sosial swasta mengingat jumlah panti swasta juga lebih banyak ketimbang panti naungan Kemensos.
Namun Yeni menegaskan meski status panti sosial tersebut milik perorangan, Kemensos turut andil dalam pemberian akreditasi pada setiap panti sosial. Kemensos juga turut memberikan izin operasional sehingga semestinya harus bertanggung jawab pada penghuni panti.
"Jadi izin operasional panti swasta ada di Kemensos, saya kira makanya butuh perhatian juga ke panti swasta ini," tutur Yeni.
Dia juga mengaku pihaknya dari PJS sulit memasuki panti sosial swasta. Setiap kedatangan tim PJS untuk mengambil data atau sekedar melakukan pengecekan kondisi penyandang disabilitas seringkali dihalangi oleh petugas panti sosial tersebut.
"Panti itu sangat tertutup jadi susah sekali pergi ke sana. Yang bisa masuk ke panti adalah Ombudsman, kalau kami tidak bersama Ombudsman kami tidak bisa masuk panti," kata Yeni.