Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo menyebut korban pelecehan seksual sering kali menjadi korban untuk kedua kalinya.
Menurut Hasto, hal ini terjadi karena korban dilaporkan balik oleh pelaku menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Hal ini hasto sampaikan guna menanggapi korban dugaan pelecehan seksual di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, MS, yang terancam dilaporkan balik oleh terduga pelaku.
"Banyak (korban menjadi korban dua kali). Dia ada laporan balik begini kan ada beberapa kali (kasus) kemudian korban ini mengalami revictimisasi," kata Hasto saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (7/9).
Menurut Hasto, korban pelecehan menanggung beban berlapis. Hal itu antara lain, peristiwa asusila yang menimpanya, merasa malu karena dinilai aib sehingga enggan melapor, dan dilaporkan balik oleh pelaku.
Karena kasus pelaporan balik ini, kata Hasto, aparat penegak hukum dituntut bertindak lebih progresif.
Pihaknya juga berharap agar polisi menaati undang-undang yang berlaku agar memproses kasus pelecehan itu terlebih dahulu.
Menurut Hasto, hal ini juga berlaku pada kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa MS.
"Pengaduan balik itu ya itu harus dinomorduakan, jadi kami harap aparat penegak hukum juga menaati undang-undang," ujar Hasto.
Hasto menjelaskan korban pelecehan seksual yang melaporkan kasusnya tidak bisa dituntut balik oleh terduga pelaku.
Sebab, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa korban dan saksi yang memberikan kesaksian tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata.
"Diterima bisa saja tetapi prosesnya nanti menunggu kalau laporan dari korban ini sudah ada putusan," jelas Hasto.
Karena banyaknya kasus laporan balik yang dilayangkan pelaku terhadap korban, kata Hasto, pihaknya telah memberikan masukan yang cukup banyak terkait revisi UU ITE.
Pihaknya juga telah berkoordinasi dengan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).
"Agar nanti di dalam prosesnya bisa dilibatkan untuk memberikan masukan-masukan itu," kata Hasto.
Selain itu, menurut Hasto, peristiwa dugaan pelecehan seksual terhadap pegawai KPI ini juga menjadi momentum untuk mendorong agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
"Sudah pasti itu (pengesahan RUU PKS) harus segera. Dan pelecehan seksual baik terhadap laki-laki maupun perempuan secara maknanya sama saja," tutur Hasto.
Sebelumnya, terduga pelaku pelecehan seksual di KPI, EO dan RT berencana melaporkan balik MS karena telah menyebutkan identitas mereka dalam rilis dan tersebar dalam pesan berantai.
Kuasa hukum terduga pelaku EO dan RT, Tegar Putuhena menyebut tindakan itu berbuntut cyber bullying baik kepada terlapor maupun keluarga mereka.
"Yang terjadi 'cyber bullying' baik kepada klien kami, maupun keluarga dan anak. Itu sudah keterlaluan menurut kami. Kami berpikir dan akan menimbang secara serius untuk melakukan pelaporan balik terhadap si pelapor," kata Tegar di Polres Metro Jakarta Pusat, mengutip Antara, Senin (6/9).
Sementara itu, MS telah menulis surat terbuka yang meminta agar netizen di Indonesia tidak melakukan bullying terhadap terduga pelaku dan keluarganya.
MS khawatir keluarga terduga pelaku seperti istri, anak, dan orang tuanya mengalami trauma berkepanjangan seperti yang ia alami.
"Apalagi, anak dari pelaku. Masa depan Indonesia berada di tangan generasi berikutnya," kata MS dalam surat terbuka.
(iam/pmg)