Usai insiden, Yasonna Laoly memberikan uang santunan Rp30 juta kepada tiga keluarga narapidana.
"Santunan ini jangan dilihat dari besar atau kecilnya, tetapi sebagai wujud empati dan rasa duka mendalam kami atas musibah yang sama-sama tidak kita inginkan ini," kata dia di RS.
Politikus PDIP ini juga menyebut kebakaran ini sebagai musibah sambil meminta maaf. Dia juga menuding UU Narkotika sebagai penyebab utama over kapasitas yang memicu banyaknya korban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini musibah yang memprihatinkan bagi kita semua," ujar Yasonna dalam keterangan tertulis, Rabu (8/9).
Lihat Juga : |
Direktur Keamanan dan Ketertiban Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Abdul Aris menjelaskan dana Rp30 juta itu merupakan uang duka bagi keluarga para korban.
"Uang duka Rp30 juta itu yg kita berikan dari kementerian, dari Pak Menteri (Hasonna Laoly) untuk semua korban, termasuk biaya rumah sakit kita tanggung semua," ujarnya.
Selain itu, pihaknya akan menanggung biaya ambulans dan pengurusan jenazah korban kebakaran Lapas senilai Rp6 juta.
"Jadi uang itu 6 juta untuk pemakaman, ambulans," kata dia, usai penyerahan jenazah pertama yang berhasil diidentifikasi ke keluarga korban di RS Polri, Jumat (10/9).
Terpisah, Direktur Pencatatan Sipil Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Handayani Ningrum menyatakan pihak keluarga kebakaran Lapas tidak perlu mengurus administrasi kependudukan para korban.
"Kami membantu memproses kependudukan korban, jadi semua yang menjadi korban ini tidak mengurus sendiri," kata dia, saat penyerahan jenazah korban kebakaran Lapas ke keluarga di RS Polri, Kramatjati, Jakarta Timur, Jumat (10/9).
Pada kesempatan tersebut, Ditjen Dukcapil menyerahkan akta kematian korban kebakaran Lapas yang berhasil diidentifikasi atas nama Rudhi alias Cangak bin Ong Eng Cue.
Adapun Kartu Keluarga dan KTP, kata Handayani, akan dikirimkan oleh Dinas Kependudukan masing-masing ke keluarga korban.
Sebelumnya, Yasonna menuai kritik tajam lantaran dianggap lalai dalam mengelola lapas dan rutan meski sudah tujuh tahun jadi Menkumham. Imparsial bahkan mendesak Presiden Joko Widodo mengevaluasi posisinya di kabinet.
"Presiden harus segera mengevaluasi posisi Menteri Hukum dan HAM khususnya terkait dengan rencana reshuffle kabinet dalam waktu dekat ini sekaligus memastikan peristiwa ini tidak terjadi lagi di masa datang," kata Peneliti dari Imparsial Hussein Ahmad, Kamis (8/9).
"Problem over capacity yang selama ini dihadapi, hampir sama sekali tanpa terobosan kebijakan dan solusi yang konkret," kata dia.
(thr/iam/arh)