Jakarta, CNN Indonesia --
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat ribuan sekolah yang menggelar Pembelajaran Tatap Muka (PTM) menjadi klaster penyebaran virus corona.
Dari ribuan klaster tersebut, belasan ribu siswa terkonfirmasi positif Covid-19 selama uji coba PTM hingga PTM terbatas.
Pemerintah telah membuka akses PTM selama PPKM dengan beberapa ketentuan, seperti di daerah level 2-3 dengan kapasitas maksimal 50 persen, namun daerah level 4 wajib Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun bila menilik data Kemendikbudristek per 23 September 2021, tercatat sekolah yang menjadi klaster selama PTM berjumlah 1.302 atau 2,77 persen dari 46.984 sekolah yang menjadi responden survei. Sementara itu, Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) yang positif Covid-19 berjumlah 7.208 orang, sedangkan siswa sebanyak 15.456 orang.
Dari jumlah siswa yang terpapar, mayoritas ditemukan pada klaster sekolah dasar. Jumlahnya, 6.928 siswa terpapar dari 583 klaster sekolah yang dilaporkan. Padahal usia 12 tahun ke bawah belum menjadi kelompok usia penerima vaksin Covid-19 di Indonesia.
Melihat fenomena itu, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim sedari awal tidak kaget dengan temuan klaster Covid-19 di sekolah. Ia menilai PTM sebagai kebijakan simalakama, lantaran kegiatan PJJ tak berhasil di sejumlah daerah.
Satriwan menyebut, selama pandemi Covid-19 dan pelaksanaan PJJ, data putus sekolah siswa meningkat 10 kali lipat menjadi 1,12 persen dari yang sebelumnya pada 2019 tercatat 0,02 persen. Kebanyakan siswa merasa penat, menikah di usia dini, hingga putus sekolah karena tidak memiliki akses PJJ yang layak.
Selain itu, berdasarkan data survei P2G pada Juli 2021, 43 persen responden menginginkan PTM dilaksanakan. Sekitar 30 persen lainnya menjawab ragu-ragu, dan sisanya meminta PTM ditunda dan melanjutkan PJJ.
Dengan begitu, Satriwan mengatakan pihaknya tak mempermasalahkan PTM dilaksanakan untuk saat ini. Hanya saja, ia mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak siap dan seolah tidak memfasilitasi PTM dengan baik.
"Ini simalakama memang, karena kita tidak bisa PJJ semua. Intinya aspek penilaian, vaksinasi, kesiapan sarana prasarana, itu mutlak dan sekolah itu harus jujur. Nah, permasalahannya dari Kemendikbudristek asesmen parameter masih belum jelas dan seperti daerah itu berjalan sendiri-sendiri," kata Satriwan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (24/9).
Satriwan menilai, selama ini pemerintah tidak mengimplementasikan kebijakan-kebijakan asesmen dengan baik. Ia menyebut, seharusnya apabila pemerintah siap membuka akses PTM, maka pemerintah harus siap juga menerjunkan orang untuk memeriksa satu per satu kondisi sekolah di Indonesia.
Asesmen yang harus dilakukan, menurut Satriwan, meliputi sarana prasarana sekolah terhadap kesiapan new normal Covid-19, kemudian data-data siswa yang pernah terpapar Covid-19, dan juga siswa yang memiliki komorbid alias penyakit penyerta, hingga berapa siswa yang sudah mendapat vaksinasi Covid-19 secara lengkap.
"Nah, itu yang tidak serentak dilakukan, belum semuanya meski ada yang sudah, ya. Tapi di DKI ini belum begitu, malah menggunakan pengisian modul yang tidak relevan," kata dia.
Satriwan menyebut, pendataan asesmen yang akurat dan sesuai dengan kesiapan sekolah selama kondisi pandemi covid-19 masih minim dilakukan. Untuk sekolah di DKI, menurutnya, Dinas Pendidikan DKI Jakarta mewajibkan para guru, siswa, dan orang tua mengisi 11 modul yang dibuat salah satu platform pembelajaran swasta bernama sekolah.mu sebagai syarat sekolah tatap muka terbatas.
Kendati demikian, menurut Satriwan dalam modul-modul tersebut justru banyak pertanyaan yang tidak relevan dengan persiapan PTM terbatas. Apalagi aspek penilaian semakin banyak modul diisi, maka peluang sekolah untuk PTM semakin besar.
Oleh sebab itu, Satriwan meminta Pemprov DKI Jakarta untuk meninjau ulang asesmen persiapan rencana penerapan PTM yang ditargetkan dapat terselenggara di 1.500 sekolah pada akhir September 2021 di Ibu Kota.
"Itu kan daerah berjalan sendiri-sendiri, maka, di sinilah fungsi Kemendikbudristek. Fungsinya berkoordinasi dengan daerah dan mengawasi, jangan seakan lepas tangan saja begitu," ujar Satriwan.
 Infografis Syarat Sekolah Boleh Tatap Muka. (CNN Indonesia/Fajrian) |
Lebih lanjut, Satriwan juga menyoroti kebijakan pemerintah yang tidak memberikan evaluasi menyeluruh terhadap sekolah yang melanggar aturan PTM atau sekolah yang mengidentifikasi kasus Covid-19 baru. Pemerintah sebelumnya menginstruksikan apabila terjadi kondisi demikian, maka sekolah ditutup 3 x 24 jam.
Padahal menurutnya langkah itu kurang efisien, karena pada dasarnya klaster Covid-19 di sekolah bukan hal baru. Satriwan lantas mempertanyakan strategi pemerintah meminimalisasi klaster di sekolah.
Ia mencontohkan seperti klaster di SMAN 1 Padang Panjang yang pada pertengahan September lalu menjadi klaster lantaran lebih dari 54 siswa positif covid-19. Padahal beberapa bulan sebelumnya, klaster Covid-19 yang sama juga terjadi di sekolah tersebut.
Satriwan juga mengungkapkan masih ada laporan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 selama PTM di Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Timur, Kota Bukittinggi, Kota Padang Panjang, Kabupaten Berau, Kabupaten Pandeglang, Kota Bengkulu, Kabupaten Blitar, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Bima, hingga Kabupaten Ende.
"Bahwa konsekuensi seperti ini mestinya ada evaluasi dari Dinas Pendidikan dan Kemendikbudristek, efektif tidak? Karena buktinya sekolah yang sama menjadi klaster Covid-19 kembali. Jadi kan tidak efektif kebijakan penutupan sekolah PTM 3 x 24 jam ini," jelasnya.
Dia menilai langkah Kemendikbudristek sampai saat ini masih 'lepas tangan' dengan hanya bermodalkan buku panduan PTM yang baru dirilis Juni lalu. Ia menilai, intisari dari asesmen di tengah pandemi Covid-19 tidak berjalan, sehingga dapat dikatakan masih banyak sekolah yang belum siap akan kegiatan PTM.
Satriwan juga menyoroti belum ada upaya Kemendikbudristek dalam mempersiapkan desain besar dalam pelaksanaan PJJ. Sebab, PJJ banyak dikeluhkan siswa dan guru karena membosankan, serta dikhawatirkan Mendikbudristek Nadiem Makarim sebagai sumbu lost generation.
Dia berpendapat, dengan keluhan dan kekhawatiran itu, seharusnya Nadiem memikirkan bagaimana strategi PJJ dapat berjalan dengan maksimal dengan desain pembelajaran yang bakal menjadi acuan apabila dalam kondisi terburuk nanti, Indonesia masih harus melakukan PJJ.
"Yang dibutuhkan hanya satu, yaitu grand design PJJ dari Kemendikbudristek, karena kita belum punya itu. Karena seandainya di masa depan ada catastrophe lagi bagaimana? Sekarang itu belum ada ya, baru perencanaan yang sifatnya parsial, dan belum ada koordinasi lintas kementerian misalnya terkait jaringan internet," ujar Satriwan.
"Dan janganlah seperti selama ini daerah jalan sendiri-sendiri, Kemendikbud dengan membuat buku panduan merasa sudah selesai, sudah oke begitu," imbuhnya.
Tak Siap Gelar PTM
Dihubungi terpisah, Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko sedari awal sudah mewanti-wanti pemerintah agar mempertimbangkan kebijakan PTM di hampir seluruh daerah di Indonesia yang dinilai memenuhi penilaian.
Miko menilai, survei dan asesmen yang dilakukan pemerintah sejauh ini belum menyeluruh dan maksimal. Padahal menurutnya, persiapan menuju PTM harus dibarengi pemahaman tentang perubahan aktivitas menyesuaikan new normal pandemi Covid-19.
"Ada ribuan klaster, belasan ribu siswa yang kena Covid-19, mau korban berapa lagi? Ini untung belum ada yang meninggal, kalau meninggal banyak lalu siapa yang akan bertanggung jawab?" kata Miko kepada CNNIndonesia.com, Kamis (23/9) malam.
Miko lantas mendesak agar pemerintah benar-benar melakukan pendataan di tiap sekolah perihal berapa jumlah siswa yang sudah terinfeksi dan sudah divaksin, dengan begitu ada anjuran bahwa siswa yang dapat mengikuti PTM hanya dari kedua kategori itu agar lebih aman.
Namun demikian, ia juga menyoroti capaian vaksinasi Covid-19 pada usia remaja yang masih rendah. Kemenkes per Kamis (23/9) Pukul 18.00 WIB mencatat baru 3.431.522 kelompok usia 12-17 tahun yang telah menerima suntikan dosis pertama. Sementara baru 2.377.223 orang remaja yang rampung menerima dosis lengkap vaksin covid-19.
Dengan demikian, target vaksinasi pemerintah dari total sasaran 26.705.490 usia 12-17 tahun orang baru menyentuh 12,85 persen dari sasaran vaksinasi yang menerima suntikan dosis pertama. Sedangkan suntikan dosis kedua baru berada di angka 8,9 persen.
"Kalau ada survei kan bisa dianjurkan PTM mereka yang sudah terinfeksi dan yang sudah divaksin karena mereka lebih aman, dari situ kita punya data-data mana saja sekolah yang bisa melaksanakan PTM. Ini harus hati-hati ya, itu kan anak-anak orang bukan anak sapi," kata dia.
Perihal vaksinasi, Miko juga meminta agar pemerintah benar-benar menaruh perhatian lebih. Sebab, data Kemendikbudristek masih menunjukkan anak-anak SD dan PAUD yang terpapar Covid-19 selama PTM. Sementara kebijakan vaksinasi sampai saat ini belum menyasar usia di bawah 12 tahun.
Pun apabila melihat data sebaran usia kasus Covid-19 di laman Satgas Penanganan Covid-19 RI per 23 September 2021, maka dapat dilihat setidaknya 1 persen anak berusia di bawah 18 tahun di Indonesia meninggal akibat terinfeksi virus corona. Bila dihitung dari kumulatif kasus kematian secara keseluruhan, maka 1,2 persen itu kurang lebih 1.411 anak Indonesia.
Rinciannya mirip, 0,5 persen datang dari usia 0-5 tahun, dan 0,5 persen lainnya datang dari usia 6-18 tahun. Itu menunjukkan bahwa angka kematian Balita terpapar Covid-19 setara dari anak usia lain. Padahal, apabila dibandingkan dari data kedua kelompok yang terpapar Covid-19, jumlahnya lebih besar terjadi pada anak usia 6-18 tahun.
Rinciannya, pada usia 0-5 tahun sebanyak 2,9 persen atau sekitar 121.845 balita terpapar Covid-19. Sementara untuk usia 6-18 tahun, Satgas mencatat 10,1 persen atau sekitar 424.357 anak terpapar Covid-19 di kelompok usia itu. Artinya, kasus Covid-19 Balita yang hanya 28 persen dari kasus usia 6-18 tahun ternyata menghasilkan jumlah kematian yang nyaris sama.
"Jadi memang tunggu vaksinasi dulu, apalagi kalau memang boleh vaksinasi 5-11 tahun itu. Ini, Pak Menteri pintar tapi kurang bijak dalam membuat keputusan publik jadinya," jelas Miko.
Miko juga menyoroti kebijakan pemerintah dalam PTM yang belum menekankan pada upaya investigasi. Menurut Miko, upaya testing dan tracing memang wajib dilakukan, namun dinilai belum cukup.
Miko menyebut, pemerintah harus mengerahkan sejumlah aparat untuk melakukan penelusuran lebih lanjut. Misalnya, sekolah A mayoritas terpapar Covid-19 karena perilaku siswa di rumah kurang taat protokol kesehatan, atau sekolah B terjadi klaster Covid-19 karena memang lingkungan sekolah tidak mendukung disiplin protokol covid-19.
"Saya anjurkan investigasi, kenapa bisa terjadi anak SD bisa terinfeksi? jadi jangan hanya melakukan tracing, tapi juga sekolah diinvestigasi termasuk aktivitas mayoritas di sekolah dan rumah, maka nanti akan ketahuan," tuturnya.
Lebih lanjut, Miko juga meminta agar Mendikbudristek Nadiem Makarim benar-benar membuat strategi kebijakan publik yang memang memiliki nilai kepentingan masyarakat dengan memikirkan aspek kesehatan lantaran sampai saat ini Indonesia masih dihantam pagebluk covid-19.
Kebijakannya pun menurutnya harus detail sekaligus tegas. Miko menyebut, pemerintah harus benar-benar menyeleksi sekolah mana saja yang benar-benar siap menjalankan PTM, sebab ia menyadari baik guru maupun siswa, serta orang tua menginginkan PTM.
"Karena kerelaan itu tidak melindungi anak-anak kita. Jadi bukan hanya keinginan, karena kalau itu keinginan tanpa dasar sama saja dengan bunuh diri, jadi seperti 'bunuh diri silakan begitu', tapi tentunya jangan dilakukan," pungkas Miko.
Nadiem Tolak PTM Diundur
Merespons banyaknya klaster Covid-19 saat PTM, Mendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan pihaknya tidak akan menghentikan PTM terbatas di sekolah-sekolah lain. Dengan catatan, kata Nadiem, protokol kesehatan harus diterapkan secara ketat.
"Itu terus kita monitor, itu temuannya. Bukan berarti PTM-nya akan diundur, masih harus jalan, terbuka, tapi sekolahnya masing-masing kalau ada kasus klaster ya harus ditutup segera, memang seperti itu," kata Nadiem kepada wartawan, Kamis (24/9).
Nadiem juga mengklaim pihaknya akan terus memonitor sekolah-sekolah yang menjadi klaster covid-19. Ia menyebut akan menutup PTM sementara jika ditemukan kasus positif di suatu sekolah. Ia sekaligus meminta kepada pemerintah daerah yang kesulitan menjalankan PJJ untuk mulai mempersiapkan kebutuhan selama PTM.
Sebab, Nadiem khawatir terjadi learning loss pada peserta didik. Learning loss adalah fenomena di mana sebuah generasi kehilangan kesempatan menambah ilmu karena ada penundaan proses belajar mengajar.
"PTM terbatas masih dilanjutkan, protokol kesehatan harus dikuatkan," ujar mantan bos GoJek itu.
Sementara Direktur Jenderal (Dirjen) PAUD dan Pendidikan Dasar Menengah Kemendikbudristek Jumeri mengklarifikasi, jumlah ribuan klaster yang dipaparkan pihaknya bukan merupakan klaster anyar selama PTM terbatas yang belakangan baru diberlakukan. Jumeri mengatakan, periode pengumpulan data itu dilakukan sejak Maret 2020 sampai September 2021.
Pemerintah menerapkan kewajiban belajar di rumah sejak Maret 2020. Kebijakan itu diambil menyusul pandemi Covid-19. Pemerintah mulai melonggarkan kebijakan itu pada 1 Januari 2021. Pihak sekolah dan pemerintah daerah diperbolehkan menggelar proses belajar mengajar secara tatap muka dengan sejumlah pembatasan.