Lebih lanjut, Satriwan juga menyoroti kebijakan pemerintah yang tidak memberikan evaluasi menyeluruh terhadap sekolah yang melanggar aturan PTM atau sekolah yang mengidentifikasi kasus Covid-19 baru. Pemerintah sebelumnya menginstruksikan apabila terjadi kondisi demikian, maka sekolah ditutup 3 x 24 jam.
Padahal menurutnya langkah itu kurang efisien, karena pada dasarnya klaster Covid-19 di sekolah bukan hal baru. Satriwan lantas mempertanyakan strategi pemerintah meminimalisasi klaster di sekolah.
Ia mencontohkan seperti klaster di SMAN 1 Padang Panjang yang pada pertengahan September lalu menjadi klaster lantaran lebih dari 54 siswa positif covid-19. Padahal beberapa bulan sebelumnya, klaster Covid-19 yang sama juga terjadi di sekolah tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satriwan juga mengungkapkan masih ada laporan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 selama PTM di Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Timur, Kota Bukittinggi, Kota Padang Panjang, Kabupaten Berau, Kabupaten Pandeglang, Kota Bengkulu, Kabupaten Blitar, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Bima, hingga Kabupaten Ende.
"Bahwa konsekuensi seperti ini mestinya ada evaluasi dari Dinas Pendidikan dan Kemendikbudristek, efektif tidak? Karena buktinya sekolah yang sama menjadi klaster Covid-19 kembali. Jadi kan tidak efektif kebijakan penutupan sekolah PTM 3 x 24 jam ini," jelasnya.
Dia menilai langkah Kemendikbudristek sampai saat ini masih 'lepas tangan' dengan hanya bermodalkan buku panduan PTM yang baru dirilis Juni lalu. Ia menilai, intisari dari asesmen di tengah pandemi Covid-19 tidak berjalan, sehingga dapat dikatakan masih banyak sekolah yang belum siap akan kegiatan PTM.
Satriwan juga menyoroti belum ada upaya Kemendikbudristek dalam mempersiapkan desain besar dalam pelaksanaan PJJ. Sebab, PJJ banyak dikeluhkan siswa dan guru karena membosankan, serta dikhawatirkan Mendikbudristek Nadiem Makarim sebagai sumbu lost generation.
Dia berpendapat, dengan keluhan dan kekhawatiran itu, seharusnya Nadiem memikirkan bagaimana strategi PJJ dapat berjalan dengan maksimal dengan desain pembelajaran yang bakal menjadi acuan apabila dalam kondisi terburuk nanti, Indonesia masih harus melakukan PJJ.
"Yang dibutuhkan hanya satu, yaitu grand design PJJ dari Kemendikbudristek, karena kita belum punya itu. Karena seandainya di masa depan ada catastrophe lagi bagaimana? Sekarang itu belum ada ya, baru perencanaan yang sifatnya parsial, dan belum ada koordinasi lintas kementerian misalnya terkait jaringan internet," ujar Satriwan.
"Dan janganlah seperti selama ini daerah jalan sendiri-sendiri, Kemendikbud dengan membuat buku panduan merasa sudah selesai, sudah oke begitu," imbuhnya.
Dihubungi terpisah, Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko sedari awal sudah mewanti-wanti pemerintah agar mempertimbangkan kebijakan PTM di hampir seluruh daerah di Indonesia yang dinilai memenuhi penilaian.
Miko menilai, survei dan asesmen yang dilakukan pemerintah sejauh ini belum menyeluruh dan maksimal. Padahal menurutnya, persiapan menuju PTM harus dibarengi pemahaman tentang perubahan aktivitas menyesuaikan new normal pandemi Covid-19.
"Ada ribuan klaster, belasan ribu siswa yang kena Covid-19, mau korban berapa lagi? Ini untung belum ada yang meninggal, kalau meninggal banyak lalu siapa yang akan bertanggung jawab?" kata Miko kepada CNNIndonesia.com, Kamis (23/9) malam.
Miko lantas mendesak agar pemerintah benar-benar melakukan pendataan di tiap sekolah perihal berapa jumlah siswa yang sudah terinfeksi dan sudah divaksin, dengan begitu ada anjuran bahwa siswa yang dapat mengikuti PTM hanya dari kedua kategori itu agar lebih aman.
Namun demikian, ia juga menyoroti capaian vaksinasi Covid-19 pada usia remaja yang masih rendah. Kemenkes per Kamis (23/9) Pukul 18.00 WIB mencatat baru 3.431.522 kelompok usia 12-17 tahun yang telah menerima suntikan dosis pertama. Sementara baru 2.377.223 orang remaja yang rampung menerima dosis lengkap vaksin covid-19.
Dengan demikian, target vaksinasi pemerintah dari total sasaran 26.705.490 usia 12-17 tahun orang baru menyentuh 12,85 persen dari sasaran vaksinasi yang menerima suntikan dosis pertama. Sedangkan suntikan dosis kedua baru berada di angka 8,9 persen.
"Kalau ada survei kan bisa dianjurkan PTM mereka yang sudah terinfeksi dan yang sudah divaksin karena mereka lebih aman, dari situ kita punya data-data mana saja sekolah yang bisa melaksanakan PTM. Ini harus hati-hati ya, itu kan anak-anak orang bukan anak sapi," kata dia.