Perihal vaksinasi, Miko juga meminta agar pemerintah benar-benar menaruh perhatian lebih. Sebab, data Kemendikbudristek masih menunjukkan anak-anak SD dan PAUD yang terpapar Covid-19 selama PTM. Sementara kebijakan vaksinasi sampai saat ini belum menyasar usia di bawah 12 tahun.
Pun apabila melihat data sebaran usia kasus Covid-19 di laman Satgas Penanganan Covid-19 RI per 23 September 2021, maka dapat dilihat setidaknya 1 persen anak berusia di bawah 18 tahun di Indonesia meninggal akibat terinfeksi virus corona. Bila dihitung dari kumulatif kasus kematian secara keseluruhan, maka 1,2 persen itu kurang lebih 1.411 anak Indonesia.
Rinciannya mirip, 0,5 persen datang dari usia 0-5 tahun, dan 0,5 persen lainnya datang dari usia 6-18 tahun. Itu menunjukkan bahwa angka kematian Balita terpapar Covid-19 setara dari anak usia lain. Padahal, apabila dibandingkan dari data kedua kelompok yang terpapar Covid-19, jumlahnya lebih besar terjadi pada anak usia 6-18 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rinciannya, pada usia 0-5 tahun sebanyak 2,9 persen atau sekitar 121.845 balita terpapar Covid-19. Sementara untuk usia 6-18 tahun, Satgas mencatat 10,1 persen atau sekitar 424.357 anak terpapar Covid-19 di kelompok usia itu. Artinya, kasus Covid-19 Balita yang hanya 28 persen dari kasus usia 6-18 tahun ternyata menghasilkan jumlah kematian yang nyaris sama.
"Jadi memang tunggu vaksinasi dulu, apalagi kalau memang boleh vaksinasi 5-11 tahun itu. Ini, Pak Menteri pintar tapi kurang bijak dalam membuat keputusan publik jadinya," jelas Miko.
Miko juga menyoroti kebijakan pemerintah dalam PTM yang belum menekankan pada upaya investigasi. Menurut Miko, upaya testing dan tracing memang wajib dilakukan, namun dinilai belum cukup.
Miko menyebut, pemerintah harus mengerahkan sejumlah aparat untuk melakukan penelusuran lebih lanjut. Misalnya, sekolah A mayoritas terpapar Covid-19 karena perilaku siswa di rumah kurang taat protokol kesehatan, atau sekolah B terjadi klaster Covid-19 karena memang lingkungan sekolah tidak mendukung disiplin protokol covid-19.
"Saya anjurkan investigasi, kenapa bisa terjadi anak SD bisa terinfeksi? jadi jangan hanya melakukan tracing, tapi juga sekolah diinvestigasi termasuk aktivitas mayoritas di sekolah dan rumah, maka nanti akan ketahuan," tuturnya.
Lebih lanjut, Miko juga meminta agar Mendikbudristek Nadiem Makarim benar-benar membuat strategi kebijakan publik yang memang memiliki nilai kepentingan masyarakat dengan memikirkan aspek kesehatan lantaran sampai saat ini Indonesia masih dihantam pagebluk covid-19.
Kebijakannya pun menurutnya harus detail sekaligus tegas. Miko menyebut, pemerintah harus benar-benar menyeleksi sekolah mana saja yang benar-benar siap menjalankan PTM, sebab ia menyadari baik guru maupun siswa, serta orang tua menginginkan PTM.
"Karena kerelaan itu tidak melindungi anak-anak kita. Jadi bukan hanya keinginan, karena kalau itu keinginan tanpa dasar sama saja dengan bunuh diri, jadi seperti 'bunuh diri silakan begitu', tapi tentunya jangan dilakukan," pungkas Miko.
Merespons banyaknya klaster Covid-19 saat PTM, Mendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan pihaknya tidak akan menghentikan PTM terbatas di sekolah-sekolah lain. Dengan catatan, kata Nadiem, protokol kesehatan harus diterapkan secara ketat.
"Itu terus kita monitor, itu temuannya. Bukan berarti PTM-nya akan diundur, masih harus jalan, terbuka, tapi sekolahnya masing-masing kalau ada kasus klaster ya harus ditutup segera, memang seperti itu," kata Nadiem kepada wartawan, Kamis (24/9).
Nadiem juga mengklaim pihaknya akan terus memonitor sekolah-sekolah yang menjadi klaster covid-19. Ia menyebut akan menutup PTM sementara jika ditemukan kasus positif di suatu sekolah. Ia sekaligus meminta kepada pemerintah daerah yang kesulitan menjalankan PJJ untuk mulai mempersiapkan kebutuhan selama PTM.
Sebab, Nadiem khawatir terjadi learning loss pada peserta didik. Learning loss adalah fenomena di mana sebuah generasi kehilangan kesempatan menambah ilmu karena ada penundaan proses belajar mengajar.
"PTM terbatas masih dilanjutkan, protokol kesehatan harus dikuatkan," ujar mantan bos GoJek itu.
Sementara Direktur Jenderal (Dirjen) PAUD dan Pendidikan Dasar Menengah Kemendikbudristek Jumeri mengklarifikasi, jumlah ribuan klaster yang dipaparkan pihaknya bukan merupakan klaster anyar selama PTM terbatas yang belakangan baru diberlakukan. Jumeri mengatakan, periode pengumpulan data itu dilakukan sejak Maret 2020 sampai September 2021.
Pemerintah menerapkan kewajiban belajar di rumah sejak Maret 2020. Kebijakan itu diambil menyusul pandemi Covid-19. Pemerintah mulai melonggarkan kebijakan itu pada 1 Januari 2021. Pihak sekolah dan pemerintah daerah diperbolehkan menggelar proses belajar mengajar secara tatap muka dengan sejumlah pembatasan.
(khr/pmg)