Di saat pemerintah masih sibuk menggodok data nilai peserta seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) guru 2021, tenaga pengajar honorer di berbagai daerah dihantui kerisauan sambil berjuang untuk hidup.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi diketahui belum memutuskan hasil pengumuman seleksi PPPK guru 2021. Penundaan pengumuman ini dilakukan lantaran proses penilaian dan pendataan belum usai.
Ahmad (53), seorang guru honorer K2 dari Garut, mengaku ragu namanya bakal lolos dalam seleksi karena kesulitan menjawab soal tes dan lupa membawa kacamata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Waktu tes kacamata ketinggalan di rumah, sehingga saat jawab soal buram, papan ketiknya juga sudah tidak ada simbolnya jadi saya susah jawab soal," kata dia, yang dihubungi CNNIndonesia.com saat sedang bersiap untuk berangkat mengajar ke sekolah.
Honorer K2 atau Kategori II adalah mereka yang sudah melalui pendataan pemerintah pada 2010 dan seharusnya diangkat melalui seleksi PPPK pada 2018-2019.
Pria berusia setengah abad ini sudah 17 tahun mengabdi sebagai honorer berstatus K2 di salah satu sekolah negeri di Garut. Jika dihitung sejak awal Ahmad mengajar pada 1999, artinya sudah 22 tahun Ahmad mengabdikan dirinya sebagai tenaga guru.
Meski bertahun-tahun pengabdiannya, perekonomian rumah tangga Ahmad jauh dari kata mencukupi. Honornya pertama kali saat diangkat menjadi K2 hanya Rp100 ribu sebulan.
Saat ini, dia menerima honor sebesar Rp600 ribu sebulan. Namun, dia baru gajian per 4 bulan bekerja dengan total Rp2,4 juta. "Itu juga tidak tentu kapan diberikannya, suka telat," tutur Ahmad.
Kondisi itu membuatnya memutar otak agar keluarganya di rumah bisa tetap hidup layak. Mulai dari bertani di lahan sekitar rumah, hingga beternak sapi. Meskipun, itu tak bisa selamanya menopang ekonomi keluarganya.
"Kadang saya ngutang bensin buat berangkat sekolah, ketika honor cair baru saya bayar utangnya," ucap dia.
Senada, tenaga honorer di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), Wilfridus Kado (30). Pria yang akrab disapa Frid mengaku harus berkebun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Frid bukan guru honorer K2, dia baru mengajar selama 5 tahun di sebuah sekolah negeri di NTT. Honornya, meski terbilang lebih besar dari Ahmad, namun tetap tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di NTT.
Dia mendapat honor sebesar Rp700 ribu sebulan. Namun honor itu pun belum masuk sakunya selama 8 bulan terakhir.
"Sudah 8 bulan honor belum cair, selama ini meladang di kampung, ada ubi, singkong, hasilnya ada yang saya jual sisanya untuk makan sehari-hari," kata Frid saat dihubungi, Kamis (30/9).
Berlanjut ke halaman berikutnya...
![]() |