AJI Kritik Polda Sulsel Terima Laporan Balik Terduga Pencabul
Ibu tiga anak korban pencabulan tiga anak di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, dilaporkan mantan suaminya yang menjadi terduga, S, ke Polda Sulsel.
Saat datang ke Mapolda Sulsel pada Minggu (17/10), Kuasa Hukum S menyatakan kliennya melaporkan pencemaran nama baik lewat sebuah situs terkait dugaan pencabulan yang telah disetop penyelidikannya oleh Polres Luwu Timur pada Desember 2019 silam. Diketahui kasus yang mandek di kepolisian itu mencuat lagi pada 2021 silam setelah Project Multatuli menurunkan laporan: Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Nurdin Amir menilai laporan yang dilayangkan S merupakan sebuah ancaman kriminalisasi pada narasumber sebuah berita. Menurut dia, apabila hal ini terus terjadi, maka akan menimbulkan chilling effect.
Efek kriminalisasi tersebut kata Nurdin bisa berdampak terhadap hak masyarakat mendapatkan informasi. Sebab, narasumber menjadi takut berbicara di media dan kemudian informasi publik menjadi terabaikan.
"Pelaporan narasumber Project Multatuli tidak tepat, dan menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers. Ketika narasumber dipidana, artinya membunuh pers itu sendiri. Pelaporan ini adalah serangan terhadap kebebasan pers dan demokrasi," kata Nurdin, Minggu (17/10).
Lihat Juga : |
Nurdin menegaskan payung hukum undang-undang nomor 40 tahun 1999 memang dihadirkan untuk melindungi kebebasan pers. Hal ini kata dia merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang diatur dalam Undang-undang Dasar pasal 28E.
"Payung hukum pers yang dipakai untuk melindungi narasumber merupakan poin penting. Pasalnya, narasumber dan pers merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Kriminalisasi terhadap narasumber adalah serangan kepada pers, serangan terhadap kebebasan berpendapat," ujar Nurdin.
Oleh karena itu, sambung Nurdin, ketika narasumber dalam pemberitaan yang viral tersebut terus berlanjut ke ranah kepolisian dan tidak dijadikan sebagai sengketa pers telah menjadi sebuah preseden buruk bagi kebebasan dunia jurnalistik di Indonesia.
"Kami mendesak pihak penyidik kepolisian Dit Reskrimsus Polda Sulsel tidak semestinya menerima laporan sengketa pemberitaan yang menjadi ranah Dewan Pers. Kasus ini tidak bisa dibiarkan, karena akan berdampak kepada narasumber lain untuk hati-hati atau membatasi bicara kepada media. Jika narasumber tidak mau diwawancara akan mengancam kerja-kerja jurnalisme," tegasnya.
Lihat Juga : |
Dalam kasus dugaan pencabulan anak di Luwu Timur itu sendiri polisi telah membuka penyelidikan baru. Diketahui kasus yang pernah ditangani Polres Luwu Timur itu telah dihentikan polisi penyelidikannya dengan alasan perkara kekerasan seksual yang dilaporkan ibu anak-anak korban itu tak cukup bukti pada Desember 2019 silam.
Belakangan, kasus itu mencuat kembali pada 2021 ini setelah muncul dalam pemberitaan Project Multatuli. Laporan itu kemudian diterbitkan ulang dengan utuh oleh sejumlah media massa sebagai solidaritas karena dugaan kekerasan digital lewat serangan siber yang dialami situs terkait.
Kasus itu menjadi perhatian nasional hingga Kantor Staf Presiden (KSP) sampai DPR bersuara. Akhirnya, Mabes Polri pun mengirimkan tim asistensi ke Sulawesi Selatan untuk melihat kembali kasus tersebut.
Belakangan, Mabes Polri menyatakan polisi membuka lagi penyelidikan kasus dugaan pencabulan tersebut. Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan bahwa penyelidikan itu didasarkan atas laporan tipe A atau yang dibuat sendiri oleh polisi.
"Penyidik telah membuat laporan polisi model A tertanggal 12 Oktober 2021, perihal adanya dugaan pencabulan anak di bawah umur. [Dalam laporan tipe A] itu ditulis pelaku dalam proses penyelidikan," kata Ramadhan kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (14/10).
(mir/kid)