Penerapan syarat wajib tes Covid-19 dengan metode polymerase chain reaction (PCR) sebagai syarat bepergian menggunakan pesawat dinilai sebagai bentuk kehati-hatian meski memang ada kritik soal keadilan bila dibandingkan moda transportasi lain.
Aturan wajib PCR paling lama 2x24 jam bagi calon penumpang pesawat itu tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3, 2, dan 1 Covid-19 di Jawa-Bali.
Sementara, calon penumpang moda transportasi darat, laut, dan kereta api dengan tujuan Jawa-Bali maupun non Jawa-Bali berstatus PPKM Level 3 dan 4 disyaratkan vaksinasi minimal dosis pertama plus keterangan hasil negatif PCR dengan masa berlaku 2x24 jam, atau hasil rapid test antigen yang berlaku 1x24 jam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Syarat perjalanan yang diperketat di tengah prediksi banyak ahli soal gelombang ketiga Covid-19 ini menuai kritik lantaran tak berkeadilan.
Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban menilai syarat baru dari pemerintah ini merupakan prosedur yang penting dalam mengendalikan Corona.
"Saya pikir kebijakan tes PCR negatif sebelum naik pesawat itu penting. Meski tubuh memproduksi antibodi dengan vaksin, tapi tidak serta merta mencegah penularan," kicau dia, melalui akun Twitter pribadinya @ProfesorZubairi, Jumat (22/10).
Zubairi juga mewanti-wanti masyarakat untuk tetap disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan kendati kasus Covid-19 menurun cukup signifikan. "Sehingga, masker pun tetap wajib di tempat tertutup seperti pesawat," kata dia.
Unggahan Zubairi itu direspons akun Twitter mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Susi Pudjiastuti @susipudjiastuti. Susi lantas mempertanyakan alasan uji PCR di pesawat perlu, sementara moda transportasi lainnya diberikan opsi lain.
"Yang darat tidak penting," cetus Susi.
"Saya tidak bilang bahwa yang darat itu tidak penting," jawab Zubairi.
Terpisah, Epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman menjelaskan PCR memang lebih baik dalam mendeteksi Covid-19 ketimbang antigen meski tak 100 persen akurat.
"Sebetulnya alasan ilmiah menggunakan PCR relatif kuat, hanya harus dipahami bagaimanapun PCR tetap ada bolongnya, bahkan bisa sampai 30 persen ada potensi bocornya. Artinya apa? Meski pakai PCR, risiko penularan itu tetap ada," kata dia, Kamis (21/10) malam.
Soal nilai plusnya, Dicky menyebut potensi penularan di pesawat menurun. Kekurangannya, pertama, kebijakan itu memicu kecemburuan sosial terkait penumpang moda transportasi lain yang masih bisa menggunakan antigen.
Kedua, biaya perjalanan cenderung tak efisien. Pasalnya, biaya tes PCR bisa setara atau bahkan lebih mahal dari harga tiket. Niat orang untuk bepergian pun bisa dibatalkan.
Ketiga, ada hambatan durasi pemeriksaan Corona, terutama di laboratorium yang pemeriksaannya dilakukan untuk mencari kasus (surveilans).
"Kalau bicara PCR dalam konteks Indonesia ya tadi ada keterbatasan, dari sisi akses, biaya, lama pemeriksaan, dan potensi penyalahgunaan hasil juga harus ada pengawasannya," ujar Dicky.
"Tapi bicara dari banyak sisi, kalau PCR ya bagus saya juga mendukung. Tapi, bisa berlanjut enggak, strategi itu kan yang paling baik itu aplikatif, cost-effective juga," sambung dia.
Bersambung ke halaman berikutnya...