Jakarta, CNN Indonesia --
Temuan fakta baru tragedi 1965 belum lama ini mencuat. Temuan baru itu mengungkapkan keterlibatan Inggris dalam menyerukan pembunuhan massal tahun 1965, sasaran utamanya adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Temuan itu pertama kali diungkapkan ke publik dalam bentuk artikel yang dirilis oleh media Inggris The Observer dan media satu grupnya The Guardian pada Minggu (17/10).
Dalam artikel itu disebutkan, seorang pejabat dari kantor luar negeri Inggris bernama Ed Wynne ditugaskan untuk membuat propaganda di Indonesia. Namun, Wynne memang bukan pejabat biasa, dia adalah seorang mata-mata ahli propaganda, bagian dari Departemen Riset Informasi (IRD).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wynne ditugaskan memimpin tim kecil dan membuat pamflet. Pamflet tersebut dibuat seakan-akan ditulis oleh seorang patriot Indonesia. Isinya seruan untuk melenyapkan PKI. Namun, sebenarnya, mereka lah yang membuat.
Berdasarkan arsip yang tersebar dan diterima oleh CNNIndonesia.com, Wynne memang mengirimkan sebuah surat dan pamflet untuk kemudian disebarkan ke dalam Bahasa Indonesia. Salah satu arsipnya yaitu pamflet edisi khusus 'Kenjataan2 Pada Kudeta 30 September.'
Untuk menyamarkan buletin asal Inggris itu dikirim ke Indonesia melalui kota-kota Asia termasuk Hong Kong, Tokyo dan Manila. Dalam laporan The Guardian, disebutkan selama setahun 28.000 eksemplar buletin, yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan disebut Kenjataan2 (Fakta 2), telah dikirim.
"Untuk John, silakan lihat surat saya SE/01/65 tanggal 11 Oktober. Sekarang saya lampirkan salinan edisi khusus Kenjataan2 pada kudeta 30 September, dalam bahasa Inggris dan Indonesia, untuk informasi Anda," tulis Wynne disertai tanda tangannya pada 13 Oktober 1965.
Dalam pamflet itu, intelijen Inggris tidak hanya menyasar warga Indonesia secara umum, melainkan juga jenderal Angkatan Darat. Sebagaimana diketahui, AD memang disebut-sebut terlibat dalam pembunuhan massal 1965. Pembunuhan yang oleh CIA disebut sebagai pembantaian paling brutal dan terbesar di abad ke-20.
Pada malam tanggal 30 September para perwira kiri yang terkait dengan G-30-S, di bawah komando Letkol Untung dari pengawal presiden, didukung oleh beberapa batalyon, mencoba melakukan serangan terhadap komando tinggi Angkatan Darat. Mereka berusaha menangkap tujuh jenderal paling senior Angkatan Darat Indonesia.
Namun, pada malam 1 Oktober komandan unit tempur utama AD, Suharto, telah mengambil alih komando tentara dan melakukan serangan balik. Soeharto, diangkat menjadi panglima tertinggi Angkatan Darat pada 14 Oktober.
Sejarawan John Roosa mengatakan, Soeharto menggunakan kesempatan itu untuk menggulingkan Sukarno dan menumpas PKI sebagai "dalih untuk pembunuhan massal". Penghapusan PKI itu dilakukan dalam serangkaian pembantaian di seluruh Indonesia yang mengakibatkan dalam kematian ratusan ribu orang.
Dalam edisi khusus itu, intelijen Inggris memanfaatkan peristiwa G30S itu. Mereka menyebut, biang kerok dari peristiwa tersebut adalah PKI. Mereka bahkan menyebut PKI sebagai penyakit kanker. Mereka menghembuskan semangat agar AD dan warga lain menumpas PKI.
"Keganasan dan pembunuhan biadab pada tanggal 30 september yang lalu sangat menyedihkan kita semua. Tindakan orang orang yang ganas itu terhadap pembela negara negara kita dengan nyata sekali menunjukan bagaimana bentuk zaman kita, kalau komunis dibiarkan meneruskan tindakan tindakan mereka mengorek-hancurkan revolusi kita," paragraph pembuka pamphlet tersebut.
"Sekarang pasti nyata buat semua orang bahwa penyakit kanker Komunis telah jauh memakan ke dalam tubuh negara kita," tulis redaksi di paragraf berikutnya.
"Tidak, kita tidak berteriak untuk mengadakan keganas-balasan, tetapi kita mendesak - atas nama semua rakyat/patriot tanah air - supaya kanker komunis ini dipotong dari tubuh Negara," tulisnya.
Nada serupa ditemukan di beberapa paragraf lain. Mereka juga secara eksplisit menggaungkan untuk memusnahkan Aidit.
"Penyakit jahat itu mesti dihapuskan, dia mesti dikeluarkan dari badan Negara kita. Aidit dan PKI bangsat itu dan segala tindakannya mesti ditumpas dan tidak bisa lagi dibiarkan," tulisnya.
Motif Inggris
Mengutip The Guardian, seperti sekutu AS dan Australianya, Inggris takut akan Indonesia yang komunis. PKI memiliki tiga juta anggota dan dekat dengan China-nya Mao.
Selain itu, nasionalisme non-blok dari Sukarno, anti-kolonialisme dan hubungan yang berkembang dengan Cina pun dipandang sebagai ancaman. Bagi Inggris ancaman itu akan berkurang jika menteri luar negerinya Subandrio dicopot dari jabatan mereka dan pengaruh PKI di Indonesia berkurang.
Inggris menilai, hal itu paling masuk akal melalui tindakan tentara Indonesia yang sebagian besar anti-komunis. Dalam lembaran pamflet yang lain, ketakutan Inggris itu terlihat. Intelijen Inggris menulis propaganda bahwa, tindakan Indonesia menarik diri dari PBB adalah langkah yang buruk.
"Oleh karena ketololan Subandrio juga, kita telah mengalami kegagalan militer dalam konfrontasi; kita telah menarik diri dari PBB, yang mengakibatkan kita kehilangan sokongan-sokongan Dunia Afrika-Asia; kita telah mendapat pukulan di Aljazair," tulisnya.
Menurut mereka, keputusan itu membuat Indonesia lemah dan dimusuhi oleh banyak negara. Di saat bersamaan, kata mereka, PKI akan semakin berkuasa dan menguntungkan peking.
Pada masa itu, banyak perusahaan asing yang harus berhenti beroperasi di Indonesia, termasuk Inggris.
"Dalam negeri, banyak lagi yang telah diperbaiki dan banyak lagi yang bisa dicapai. Penyitaan perusahaan-perusahaan asing dan partikelir, yang hanya menguntungkan PKI dan Peking, mesti distop," tulisnya.
"Ekonomi kita sudah bangkrut dan kita dikuasai oleh Peking. Satu keadaan yang tidak bisa direncanakan dengan lebih memuaskan biarpun oleh PKI sendiri. Subandrio yang kayak inikah yang hendak kita biarkan terus sebagai Menteri Luar Negeri? Masih adakah harganya buat menduduki suatu posisi dalam Pemerintahan?" tambah mereka.
Diketahui, temuan fakta baru itu membuat banyak pihak, terutama aktivis LSM HAM mendesak agar tragedi tersebut diinvestigasi kembali.
Amnesty Internasional mengatakan, Presiden Jokowi harus melakukan itu. Selain ada temuan fakta baru, langkah itu juga menjadi tagihan atas janjinya yang akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat.