Senada, penjual minuman keliling, Yani (46), mengaku paham dengan rencana perluasan penerapan PCR itu, terutama terkait alasan antisipasi lonjakan kasus Covid-19 di masa libur Natal dan Tahun Baru.
Hanya saja, ia menyebut pemerintah juga harus bersikap adil dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat kelas bawah.
"Rakyat-rakyat kecil kayak kita mah gede banget angka segitu. Saya pulang ke Surabaya aja beli tiketnya yang seratus ribu," tuturnya, ketika ditemui di kawasan Pasar Senen, Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terpisah, Beff (34), yang sehari-hari bekerja sebagai pemandu wisata, mengungkapkan kebijakan PCR itu bisa membuat pendapatannya terkikis.
Pekerjaannya itu mengharuskan dia bepergian ke pelbagai daerah hampir tiap pekan.
"Padahal sekarang ini saja saya sengaja beralih naik kereta agar menekan biaya tes Covid-19," ujarnya ketika ditemui, di Stasiun Pasar Senen.
![]() |
Imam (46), salah seorang pengemudi Bajaj yang biasa mangkal di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, juga mengaku kecewa dengan rencana pemerintah tersebut.
Ia menilai persyaratan tersebut akan sangat memberatkan bagi masyarakat dan berdampak kepada dirinya.
Selama ini, kata Imam, kebijakan tes antigen sebagai syarat perjalanan saja sudah menjadi beban tambahan di masyarakat. Menurut dia, penerapa tes bagi penumpang selama ini terbukti menurunkan intensitas masyarakat yang bepergian.
![]() |
"Akibatnya orang-orang kayak saya atau kuli panggul yang berharap sama penumpang kereta api juga yang terdampak," ujarnya.
Yani dan Beff pun meminta pemerintah menurunkan harga PCR lebih rendah lagi atau bahkan menanggung biayanya alias subsidi jika tetap mewajibkan tes PCR.
(tfq/arh)