Peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosarie memandang telegram yang dikeluarkan awal November lalu semakin menjauhkan harapan masyarakat luas terhadap agenda Revisi Undang-undang Peradilan Militer. Padahal, masyarakat mengharapkan akuntabilitas dan transparansi dalam setiap proses penegakan hukum.
"ST ini justru semakin menguatkan bahwa penegakan hukum terhadap prajurit militer itu berada pada domain yang berbeda dengan sipil," ucap Ikhsan melalui keterangan tertulis.
Ikhsan mempertanyakan jaminan penegakan hukum tidak terganggu ketika aturan internal TNI dimaksud berlaku. Sebab, dalam penanganan perkara di lapangan, harus ada izin yang diberikan komandan terhadap prajurit yang hendak diperiksa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bagaimanapun, ST ini tetap berpotensi menghambat proses penegakan hukum melalui permintaan izin terlebih dahulu untuk pemanggilan/pemeriksaan oknum prajurit," kata dia.
Ia lantas mengkritik tujuan diterbitkan telegram guna mencegah kesalahpahaman dan kegamangan prosedur. Menurut dia, kesalahpahaman dapat diatasi melalui koordinasi dengan aparat penegak hukum.
Penegakan hukum yang berkeadilan terhadap oknum prajurit TNI, lanjut Ikhsan, menjadi bagian dari reformasi internal TNI. Untuk itu, ia meminta agar segala hal yang kontradiktif dengan agenda reformasi internal TNI dapat segera ditinjau ulang.
"Agenda reformasi internal TNI masih menjadi tugas dari Panglima TNI yang baru. Seperti berkaitan dengan mencegah potensi tindak kekerasan oknum prajurit terhadap masyarakat serta penegakan hukum yang berkeadilan jika oknum prajurit lah yang menjadi pelaku dalam sebuah tindak pidana," ujar Ikhsan.
"Hal-hal yang kontradiksi terhadap agenda tersebut harusnya dapat dicegah, diantisipasi, atau di-review kembali oleh Panglima. Sebab, ini menjadi bagian penting dalam upaya menuju TNI yang profesional," pungkasnya.