Rodi saat ini hanya berharap pemerintah atau negara turun tangan memperhatikan nasib keluarga korban pelanggaran HAM, khususnya penghilangan paksa baik di Aceh dan daerah lain di Indonesia.
"Dengan adanya militer, masuk ke Aceh, maka kami jadi tumbal. Kami hanya bisa mendoakan, Bapak saya yakin sudah dimutilasi, karena umumnya kasus di Bener Meriah ya dimutilasi. Atau dibuang ke jurang. Buktinya lenyap, enggak ada bukti apa-apa. Pemerintah harus perhatikan nasib kami," kata Rodi.
Sama seperti Rodi, Ema pun mendapat stigma anak pemberontak. Ia juga banyak menemui kesulitan-kesulitan setelahnya. Ia berharap pemerintah bisa memperhatikan ribuan keluarga yang menjadi korban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika tak mampu membantu secara materi, setidaknya bisa membantu untuk memulihkan psikologis korban-korban penghilangan paksa dan bantu upaya pencarian.
"Tolong dikumpulkan anak-anak korban konflik, ditanyai, mungkin secara psikologis berjumpa sesama penyintas, bisa jadi satu pemulihan juga," tutup Ema.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat sedikitnya ada 667 orang hilang selama masa operasi militer dan pasca operasi militer. Jumlah itu hanya yang terdata secara lengkap identitasnya.
Sementara itu, pemerintah belum juga meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa yang telah ditandatangani Indonesia pada 2010 silam. Direktur Instrumen HAM Kemenkumham, Timbul Sinaga berjanji akan merampungkan ratifikasi itu pada 10 Desember 2021.
Namun, sampai saat ini, proses ratifikasi itu bahkan belum sampai di DPR. Timbul berdalih, proses ratifikasi terhambat karena ada UU tentang peraturan perundang-undangan tahun 2019 sehingga membutuhkan banyak penyesuaian.
"Dulu kan kita harapkan sudah diratifikasi. Tapi karena ada UU terkait pembentukan perundang undangan itu yang harus kita sesuaikan," kata Timbul di Kantor Ditjen HAM Kemenkumham, Senin (6/12).
"Minimal tanggal 10 Desember itu pak presiden dalam pidatonya sudah menyampaikan bahwa ratifikasi anti penghilangan paksa dari sisi pemerintah sudah diajukan ke DPR," imbuhnya.
Lihat Juga : |
Presiden Joko Widodo sendiri mengklaim telah memerintahkan Jaksa Agung untuk memproses dugaan pelanggaran HAM berat sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Ia ingin ada keadilan bagi warga negara dalam kasus-kasus itu.
Jokowi menegaskan setiap warga negara berhak atas perlindungan dan perlakuan yang setara dari negara. Dia menyebut tak boleh ada rakyat yang dilakukan berbeda karena alasan suku, ras, agama, atau gender.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu berkata pemerintah akan mengupayakan perlindungan dengan memproses kasus HAM berat. Dia menyatakan komitmen pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus itu.
"Pemerintah berkomitmen menegakkan menuntaskan dan menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan bagi korban dan keadilan bagi yang diduga menjadi pelaku HAM berat," tutur saat memperingati hari HAM Sedunia di Istana Negara, Jumat (10/12).
Indonesia sejauh ini mempunyai catatan 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan. Kasus-kasus itu saat ini berada dalam penanganan Kejaksaan Agung dan Komnas HAM.
Kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang dimaksud adalah peristiwa 1965-1966; peristiwa penembakan misterius 1982 1985; Talangsari 1989;
Trikasti, semanggi I, dan II 1998 1999; Kerusuhan Mei 1998; Penghilangan paksa 1997-1998; Wasior 2001 Wamena 2003; Pembunuhan dukun santet 1998; Simpang KAA 1999; Jambu Keupok 2003; Rumah Geudong 1989-1998; dan Paniai.