Sosiolog Universitas Nasional (Unas), Sigit Rochadi mengakui kasus Ade Armando babak belur merupakan dampak polarisasi atau keterbelahan masyarakat terkait dengan Islam.
Ia mengungkapkan bahwa polarisasi justru sudah terbentuk sejak era reformasi dan semakin tajam pada akhir kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurutnya, kelompok Islam politik dan kelompok yang kurang taat terhadap ajaran Islam atau 'abangan' saling memperebutkan sumber daya di pemerintah. Ade Armando pun disebut pernah terkait dengan kelompok Islam ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sumber daya yang ada di pemerintah itu zamannya Pak Harto berhasil dikuasai abangan," kata Sigit saat dihubungi CNNINdonesia.com, Rabu (13/4) malam.
Pada era SBY, kata Sigit, kelompok Islam berhasil mengeliminasi peranan kelompok abangan. Saat itu, sejumlah partai Islam seperti PPP, PAN, dan PKS, merapat dalam satu koalisi. Mereka juga mendapatkan posisi strategis.
Pada Pemilu 2014, PKS mendukung Prabowo Subianto namun kalah. Hal ini membuat polarisasi kelompok Islam politik dengan kelompok lainnya semakin tajam.
"Dari sini sebenarnya polarisasi mulai berkembang secara terbuka, caci makian seperti tahun 60-an berkembang secara terbuka," ujarnya.
Sigit mengatakan pada 2019, Prabowo kembali mencalonkan diri sebagai presiden. Ia dipandang sebagai sosok pemersatu kelompok Islam politik. Namun, Prabowo kembali kalah dan akhirnya merapat ke pemerintahan. Setelah itu, kelompok pendukung Islam politik terbelah.
Sigit menyoroti upaya penunggangan isu Ade Armando yang dilakukan Denny Siregar hingga Grace Natalie untuk memukul Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Menurutnya, diakui atau tidak saat Anies saat ini merupakan satu-satunya sosok pemersatu Islam politik.
Sementara, Denny Siregar dan Grace Natalie merupakan simbol dari kelompok yang tidak menyukai agenda Islam politik.
"Denny Siregar dan Grace Natalie adalah simbol dari para pelaku politik yang tidak suka dengan ide atau agenda Islam politik," tutur Sigit.
Menurut Sigit, menyeret Relawan Anies ke kasus Ade Armando merupakan cara untuk memukul dan memperlemah posisi Anies yang mulai digadang-gadang menjadi calon presiden (capres) di pilpres 2024.
Mereka mencoba menyeret Anies ke dalam pusaran konflik. Selain itu, Grace dan Denny juga melakukan preemtif straight atau memukul lebih dulu.
"Dengan mengatakan itu sebenarnya yang ingin dipukul kekuatan Pak Anies, bukan ingin memukul para pelaku pengeroyokan," ujar Sigit.
"Mereka dengan cepat mengolah informasi itu untuk menyerang lawan-lawan politiknya," imbuhnya.
Menurut Sigit, fenomena polarisasi yang justru makin tajam dan sudah sangat vulgar dan akan terus berlanjut hingga Pemilu 2024 mendatang. Polarisasi ini juga tidak akan selesai meski kelompok Islam Politik menang.
"Ini tidak akan berhenti sampai 2024 Jokowi turun. Kalau nanti Islam politik yang menang ya akan menjadi sasaran maki-makian juga," terang Sigit.