Jakarta, CNN Indonesia --
Amnesty International Indonesia (AII) secara tegas menolak tuntutan hukuman mati yang dilayangkan jaksa penuntut umum (JPU) kepada terdakwa kasus perkosaan belasan santri di Bandung, Jawa Barat, Herry Wirawan.
Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid mengaku, pihaknya sepakat bahwa tindakan yang dilakukan oleh Herry Wirawan sama sekali tidak dapat dibenarkan dan menginjak-injak perikemanusiaan.
Hanya saja, tuntutan maksimal berupa hukuman mati dan hukuman tambahan berupa kebiri kimia dan denda terhadap Herry juga tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia (HAM).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertama berlawanan dengan prinsip HAM. Kedua bentuk penghukuman itu jelas tidak manusiawi, kejam, dan merendahkan martabat manusia," ujarnya ketika dikonfirmasi, Kamis (13/1).
Usman berpendapat hukuman terhadap para pelaku kekerasan seksual, khususnya Herry memang penting untuk memastikan keadilan bagi para korban. Akan tetapi, pemberian hukuman tidak sepatutnya dilakukan bukan dengan cara yang keji.
"Penghukuman pelaku juga setara pentingnya. Tapi bukan dengan bentuk-bentuk penghukuman yang keji," tegasnya.
Menurutnya, kasus Herry tersebut menunjukkan betapa meluasnya kejahatan seksual di Indonesia. Oleh sebab itu, kata dia, diperlukan perubahan besar-besaran dengan cara mendorong pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Sebab jika sudah sah menjadi undang-undang, ia menilai payung hukum tersebut dapat mampu membantu mengatasi masalah kekerasan seksual secara menyeluruh.
"Kasus Herry dan banyak kasus lainnya juga semakin menunjukkan betapa meluasnya kejahatan seksual di Indonesia. Karena itu kita perlu mendorong perubahan besar-besaran, salah satunya dengan pengesahan RUU TPKS," kata Usman.
Pengesahan RUU TPKS, kata Usman, juga dapat membantu pemenuhan hak korban untuk mendapat kan hak-haknya. Mulai dari hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan yang sangat penting untuk memberikan keadilan pada korban.
"Menghukum satu orang saja tidak akan mengubah situasi kedaruratan kekerasan seksual. Wujudkan perlindungan masyarakat dari kekerasan seksual, dengan menghukum pelaku secara adil dan dengan mengesahkan RUU TPKS segera," katanya.
Sebelumnya, terdakwa Herry Wirawan, pelaku pemerkosaan terhadap 12 santriwati di Bandung dituntut hukuman mati dengan pidana tambahan berupa kebiri kimia oleh JPU di Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung, Jawa Barat, Selasa (11/1).
Jaksa yang merupakan Kepala Kejati Jabar, Asep N Mulyana menilai, Herry terbukti bersalah melakukan aksi pencabulan terhadap 12 santrinya. Salah satu pertimbangan jaksa, perbuatan terdakwa dinilai telah masuk kategori kekerasan seksual dengan mengacu kepada konvensi PBB yang menentang penyiksaan yang tidak manusiawi.
Pasalnya, dari belasan santri itu, beberapa di antaranya disebut tengah dalam kondisi mengandung. Bahkan lima korbannya telah melahirkan sampai dua kali.
Herry kemudian disangkakan telah melanggar tindak pidana Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Baca berita selanjutnya
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengapresiasi Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat yang turun langsung menjadi jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang kasus perkosaan belasan santri yang dilakukan Herry Wirawan.
Sebagai informasi, Herry dituntut hukuman mati oleh JPU. Jaksa menyatakan Herry bersalah telah melakukan tindakan pencabulan tersebut terhadap belasan anak didiknya
Bintang menghormati tuntutan JPU terhadap pelaku kasus kekerasan seksual Herry di pondok pesantren yang dia kelola di Bandung. Sebabnya, kasus ini tidak hanya berkaitan dengan kekerasan seksual, tetapi juga eksploitasi dan penyalahgunaan bantuan sosial.
"Tuntutan yang diberikan kepada tersangka adalah tuntutan yang seberat-beratnya. Tidak hanya kebiri, tapi juga hukuman mati, demikian juga denda dan restitusi termasuk sita aset milik pelaku, yang nantinya aset lelangnya ini diperuntukkan kepada korban dan anak-anaknya," kata Bintang melalui keterangan resmi yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (13/1).
Bintang berharap tuntutan tersebut nantinya dapat dikabulkan oleh hakim.
"Mudah-mudahan nanti di pengadilan, keputusan hakim tidak jauh berbeda dengan tuntutan jaksa penuntut umum," ujarnya.
Di sisi lain, Bintang juga menyampaikan apresiasi terhadap aparat penegak hukum yang mengedepankan kepentingan terbaik bagi korban dalam penanganan kasus, utamanya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Menurut Bintang, tambahan fungsi layanan rujukan akhir sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2020 Tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak membuka kesempatan yang lebih luas bagi KemenPPPA untuk melakukan koordinasi langsung dengan pemerintah daerah.
"Selain itu, kami dapat melakukan monitoring dan langsung mencarikan jalan keluar bagi permasalahan yang ada di lapangan yang selama ini kami koordinasikan dengan Kementerian/Lembaga terkait," katanya.
Marak Pelecehan, Wamenag Usul UU Pesantren Direvisi
Terpisah, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi mengusulkan agar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren direvisi untuk memasukan materi pengawasan masyarakat terhadap pesantren.
Hal itu Ia katakan merespons maraknya pelecehan seksual terjadi di pesantren belakangan ini yang terkuak ke publik.
"Saya kira kami mohon telaah ulang apakah bisa dilakukan semacam revisi agar pemerintah dan masyarakat bisa memiliki akses pengawasan di pesantren," kata Zainut dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI, Kamis (13/1).
Zainut menilai UU Pesantren saat ini tak memuat regulasi terkait pengawasan. UU itu, kata dia hanya mengatur soal Dewan Masyayikh. Namun, fungsi dewan itu sekadar penguatan terhadap konten pendidikan.
Di sisi lain, Zainut mengakui bahwa kasus kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja. Tak terkecuali di lembaga pendidikan. Namun, Ia menegaskan tindakan bejat itu seharusnya tak terjadi di lingkungan pendidikan seperti pesantren.
"Bahwa itu terjadi di pondok pesantren, iya, tapi itu tidak mencerminkan seluruh pesantren yang ada. Sebagian kecil pesantren yang melakukan itu dan memang seharusnya pelecehan seksual itu tidak terjadi di lembaga pendidikan, khususnya pesantren," kata dia.
Selain itu, Zainut menyatakan Kemenag tengah berupaya untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di pesantren. Salah satunya dengan pengetatan pendirian pondok pesantren.
Ia mencontohkan Kemenag akan mengatur bahwa pendirian pondok pesantren perlu memegang rekomendasi dari organisasi massa Islam.
Ormas-ormas Islam itu, kata dia, nantinya memberikan rekomendasi dan turut melakukan pengawasan di lembaga pendidikan pesantren.
"Agar ormas itu bisa memberikan pengawasan kepada pondok pesantren. Saya kira ini bagian yang sangat serius. Terima kasih atas dukungannya," kata Zainut.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto mengakui terbuka atas usulan revisi UU Pesantren. Baginya, perlu ada tambahan elemen di dalam undang-undang tersebut, salah satunya terkait pengawasan.
"Memang ini Undang-undang Pesantren untuk pertama kali diketok oleh DPR dan pemerintah pada 2019 itu tentu banyak kelemahan di sana-sini dan terbuka untuk direvisi karena perkembangan tentu banyak," kata Yandri.