DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi Undang-undang pada Rapat Paripurna, kemarin. Mayoritas fraksi menyetujui payung hukum pembangungan ibu kota baru di Kalimantan Timur.
Pengesahan UU IKN terbilang supercepat. Pansus RUU IKN baru ditetapkan pada 7 Desember 2021. Dengan begitu, dari Pansus terbentuk sampai pengesahan, pembahasan RUU IKN hanya memakan waktu satu bulan.
Sejumlah pihak mengkritik pembahasan rancangan aturan itu karena cenderung serampangan. Salah satunya PKS. Juru Bicara PKS, Pipin Sopian menganggap pembahasan RUU IKN di DPR dilakukan secara ugal-ugalan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menilai pembahasan regulasi yang akan memindahkan IKN dari Jakarta ke Kalimantan Timur itu telah mengabaikan partisipasi masyarakat.
Lihat Juga : |
PKS pun menjadi satu-satunya fraksi yang menolak RUU IKN dibahas di tingkat dua atau pengesahan di paripurna dan menjadi UU. Sedangkan, fraksi Demokrat, mendukung dengan sejumlah catatan kritis.
Pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menyampaikan sejumlah alasan pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke wilayah lain.
Kala itu, beberapa alasan yang disampaikan Jokowi antara lain, jumlah penduduk yang kian padat, pencemaran lingkungan, kemacetan, hingga banjir.
"Ini kita bicara bukan hanya Jakarta, tapi berbicara mengenai Pulau Jawa," kata Jokowi ketika itu.
Jokowi mengatakan dari data yang diterima, jumlah penduduk di Pulau Jawa mencapai 57 persen dari total penduduk Indonesia.
Guru besar hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf mengatakan merujuk UU 12/2011, pembentukan sebuah rancangan undang-undang setidaknya harus memiliki lima tahapan.
Lima tahapan itu mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.
"Tahapan perencanaan, satu di antaranya harus dibuktikan dengan prolegnas. Kemudian penyusunan, maksudnya itu di dalamnya pasti ada partisipasi, kegiatan diskusi publik, dengar pendapat dan lain lain. Ketiga adalah pembahasan, itu juga sama pasti ada partisipasi," kata Asep saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (17/1) malam.
Asep mengatakan partisipasi publik bisa dilakukan dengan melibatkan subjek yang langsung terdampak aturan, pihak yang mempunyai informasi maupun data hingga para ahli.
Dalam konteks RUU IKN, menurutnya, masyarakat Kalimantan Timur dan DKI Jakarta harus dilibatkan dalam pembentukan itu. Ia pun mempertanyakan apakah proses pembentukan rancangan aturan itu telah melibatkan partisipasi publik.
"Apakah benar tahapan-tahapan itu sudah dilakukan dengan partisipatif, dengan transparan, melakukan berbagai macam konsultasi publik?" ujarnya.
Asep tak ingin pembahasan yang superkilat ini justru mengulang kesalahan yang sama seperti pembentukan UU Cipta Kerja, yang beberapa waktu lalu diputus inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau MK mengabulkan uji formil karena pembentukan tidak partisipatif, seperti amanat pasal 96 UU pembentukan perundang-undangan, jangan-jangan dibatalkan lagi. Kalau itu terjadi kan malu betul pemerintah dan DPR. Itu pukulan telak betul dari MK ketika ini misalnya ada yang mengajukan nanti," ujar Asep.