Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Isran Noor mengklaim pengesahan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi Undang-undang tidak buru-buru. Isran menyebut rencana pemindahan ibu kota ini sudah dicanangkan sejak era Presiden Soekarno.
"Wacana pemindahan IKN ini sudah dilakukan sejak sekitar 50 tahun lalu, sejak negara ini dipimpin oleh Presiden Soekarno," ujar Isran setelah mengukuhkan Pengurus Wilayah Provinsi Kerukunan Bubuhan Banjar Kalimantan Timur (KBBKT) di Samarinda, Sabtu.
Isran mengklaim pemindahan dan pembahasan RUU IKN hingga disahkan menjadi UU sudah melewati kajian matang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait nama IKN baru Nusantara, ia menilai nama yang tepat bagi seluruh masyarakat yang tersebar di Tanah Air. Menurutnya, nama itu juga sesuai dengan kondisi demografi Kaltim yang dihuni berbagai suku dan etnis.
Isran menyebut Kaltim adalah miniatur Indonesia karena semua suku menetap di wilayahnya, mulai dari Suku Jawa, Bugis, Banjar, Batak, Dayak, Kutai, Paser, dan suku-suku lain di Indonesia.
"Namun saya sayangkan saat penetapan UU IKN lalu ada fraksi yang menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) IKN menjadi UU IKN. Kalau sudah menolak ya sudah, tidak perlu mengomentari soal nama Nusantara," kata Isran.
Sebelumnya, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menduga proses pembahasan RUU IKN oleh DPR menjadi rekor tercepat dalam sejarah pembuatan hingga disahkan menjadi undang-undang.
Peneliti Formappi, Lucius Karus mengatakan proses pengesahan RUU IKN hanya membutuhkan waktu efektif tak kurang dua pekan sejak tim panitia khusus (Pansus) IKN DPR dibentuk 7 Desember 2021.
Menurut Lucius, DPR hanya menggunakan waktu efektif selama sepekan sebab sepekan setelahnya, mulai 16 Desember memasuki masa reses selama sebulan hingga awal Januari 2022. Lalu, DPR kembali menjalani masa sidang di awal 2022 mulai 11 Januari, sebelum RUU IKN disahkan pada Selasa (18/1).
"Mungkin ini rekor tercepat DPR membahas sebuah RUU," ujarnya.
Sementara Pakar Hukum Tata Negara Fery Amsari menilai Naskah Akademik (NA) RUU IKN memiliki kualitas yang lebih rendah ketimbang skripsi mahasiswa jenjang Strata 1.
"Kalah lah dengan skripsi anak S1," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Jumat (21/1).
Menurutnya, Naskah Akademik itu tidak memuat penjelasan filosofis sampai sosiologis. Dari sisi filosofis, misalnya, nihil alasan pemilihan 'Nusantara' sebagai nama ibu kota baru.
Dari sisi sosiologi, Fery juga tak melihat kajian soal pilihan lokasi IKN dan kondisinya. Padahal, NA mestinya memuat sudut pandang masyarakat terkait pemindahan IKN.
Dari segi teknis, Feri menyebut Naskah Akademik terlihat dibuat secara terburu-buru. Buktinya, terdapat salah penulisan kata atau typo pada kata 'Pendahuluan' menjadi 'Pengahuluan'.
"Saya cemas dengan naskah akademik itu seterburu-buru itu dan dalam 16 jam dibahas lalu disahkan hingga larut malam. Dari cara pengesahan saja tidak profesional ya," kata dia.
(antara/fra)