Merayakan Imlek secara terbuka pada 1990-an bukanlah perkara mudah, setidaknya buat Candra. Sejumlah aturan yang dikeluarkan rezim Orde Baru, mau tidak mau membuat etnis Tionghoa harus berpikir berkali-kali untuk merayakan Imlek secara terbuka.
"Waktu itu kan karena peristiwa politik ya. Diskriminasi, pelarangan adat-istiadat Tionghoa secara terbuka memang terasa sekali. Kita Imlek harus sembunyi-sembunyi," kata Candra kepada CNNIndonesia.com, akhir Januari lalu.
Saat itu, Imlek pun belum ditetapkan sebagai libur nasional. Mereka yang merayakannya, terpaksa harus mencuri-curi waktu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Waktu itu sekolah juga meliburkan diri sendiri, walau diancam, kan waktu itu belum libur. Jadi kita meliburkan diri, pura-pura sakit lah kalau ditanya, tapi orang sudah tahu. Tahu sama tahu lah," ujar pria 38 tahun itu.
Candra adalah pemuda yang aktif berkecimpung di Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), sebuah organisasi yang misinya memfasilitasi penuntasan persoalan masalah Tionghoa di Indonesia.
Rusdi Tanoto, 67 tahun, melakukan 'nasionalisasi nama' di era Orde Baru. Nama pemberian orang tuanya tak pernah terpakai. Ia kini akrab dipanggil Onggo.
"Nama Chinese saya Tan Swie Hong. Kalau kita kan sebagai orang Chinese ikut aja. Gak banyak neka-neko lagi. Disuruh ganti ya ganti," kata Onggo.
Dua kisah di atas adalah sedikit dari diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa di bawah pemerintahan Soeharto.
Pengamat kebudayaan Universitas Pelita Harapan Johanes Herlijanto mengatakan persepsi negatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia sudah ada sejak awal abad ke-19.
Namun, yang berbeda, ia menyebut rezim Soeharto membuat persepsi negatif itu menjadi sistematis dan dituangkan dalam aturan.
"Yang menarik adalah pada zaman orde baru itu, jadi sistematis, yang diturunkan jadi peraturan. Jadi kebijakan negara," kata Johanes.
"Ekspresi budaya yang paling utama tidak bisa muncul ke permukaan, penutupan sekolah... Belum lagi aturan kependudukan," imbuh dia.
Pada 1967, Soeharto yang saat itu berstatus Pejabat Presiden RI mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Dalam Inpres tersebut aktivitas etnis Tionghoa Indonesia dibatasi.
"Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata-cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan," tulis poin pertama Inpres itu.
"Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga," lanjut poin kedua.
Lihat Juga : |
Lalu ada Keputusan Presiden RI Nomor 240 tahun 1967 Tentang Kebidjaksanaan Pokok Jang Menjangkut Warga Keturunan Asing. Dalam aturan itu, warga negara keturunan asing yang masih memakai nama China, dianjurkan mengganti nama mereka.
Juga, TAP MPRS nomor 32 tahun 1966 yang melarang penggunaan aksara dan bahasa Cina untuk media massa dan toko/perusahaan. Masih ada sejumlah aturan lainnya.
Johanes berpendapat, sejumlah aturan yang dikeluarkan itu dilatarbelakangi oleh kecurigaan bahwa masyarakat keturunan China masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya. Konteksnya saat itu China yang memeluk komunisme.
Mereka, dikhawatirkan akan digunakan Tiongkok untuk kepentingan negara itu. Apalagi Tiongkok dicurigai berada di balik gerakan 30 September. Tuduhan ini sendiri menurutnya, belum terbukti.
"Mereka dianggap berpotensi untuk bisa menjadi kelompok yang bisa membantu Tiongkok dalam Tiongkok mencoba untuk punya rencana apa misalnya. Ketakutannya kalau Tiongkok ini membantu berdirinya kembali atau bangkitnya kembali komunisme di Indonesia," ujarnya.
Johanes mengatakan semua aturan itu dibuat salah satunya untuk mendorong proses asimilasi etnis Tionghoa ke masyarakat Indonesia.
"Jadi aturan mengarah kepada terjadinya asimilasi etnis Tionghoa ke dalam masyarakat. Kalau mau asimilasi enggak boleh dong pake bahasa Mandarin lagi. Bahasa Mandarin tidak boleh lagi, sekolah Tionghoa ditutup, organisasi Tionghoa tidak boleh muncul, budaya juga enggak boleh keluar," ujar Johanes.
Leo Suryadinata dalam Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia menyampaikan bahwa ciri terpenting kebijakan asimilasi itu adalah penghapusan tiga pilar utama kebudayaan Tionghoa.
Soeharto, seperti ditulis Leo, saat berkuasa mulai menutup semua surat kabar Tionghoa, kecuali satu. Impor publikasi dalam bentuk apapun yang berbahasa Tionghoa juga dilarang.
Sejak 1966, juga tidak satu pun sekolah Tionghoa yang diizinkan beroperasi. Selanjutnya, penggunaan bahasa Tionghoa pun turut dilarang.
"Pelarangan semua organisasi sosial-politik etnis Tionghoa juga bersifat asimilasi, karena mereka hanya diperkenankan untuk bergabung dengan organisasi-organisasi yang didominasi etnis non-Tionghoa," tulis Leo.
Namun dari semua kebijakan asimilasi itu, Leo menilai kebijakan yang paling efektif untuk mengubah identitas Tionghoa adalah kebijakan ganti nama.
Meski tidak diwajibkan, tapi selama tahun-tahun pertama dari masa Orde Baru, sebagian besar orang Indonesia keturunan Tionghoa mengganti nama mereka.
"Karena ganti nama sering dianggap sebagai bukti dari kesetiaan politik kepada Indonesia atau identifikasi diri dengan bangsa Indonesia," tulis Leo.