Eksepsi Kades Kinipan Kasus Korupsi, Singgung Amputasi Perjuangan Adat

CNN Indonesia
Senin, 07 Feb 2022 16:07 WIB
Ilustrasi pengadilan. patung dewi keadilan memegang timbangan dengan mata tertutup sebagai simbol proses pengadilan. (iStock/simpson33)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kepala Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Willem Hengki (40) telah membacakan nota keberatan (eksepsi) dalam sidang kasus korupsi yang menjerat dirinya sebagai terdakwa dalam sidang di Pengadilan Tipikor Palangka Raya, Kalimantan Tengah.

Disampaikan kuasa hukumnya, dalam eksepsi Wilem mengaku telah dibidik dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi lantaran selama ini lantang menyuarakan perjuangan masyarakat adat. Surat eksepsi bertajuk koalisi keadilan untuk kinipan dibacakan oleh pengacara Willem dalam sidang yang digelar Senin (7/2).

"Sudah dibacakan," kata kuasa hukum Willem, Nugroho Waluyo saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com.

Wilem disebut sebagai sosok kepala desa yang dicintai oleh masyarakat setempat. Ia dikenal sebagai pribadi yang kritis demi kemajuan Desa Kinipan. Dia juga disebutkan kerap melawan pihak-pihak tertentu yang hendak merampas tanah adat demi kepentingan oligarki.

Oleh sebab itu, tim pengacara menilai kasus dugaan korupsi pembangunan jalan yang kini dijeratkan kepada kliennya merupakan upaya menyetop perjuangan masyarakat adat.

"Terdakwa dihadapkan dalam persidangan ini merupakan jalan untuk meng-amputasi perjuangan adat laman Kinipan," demikian tertulis di eksepsi tersebut.

Dalam eksepsi tersebut, tim pengacara menyatakan Jaksa tak menyampaikan sejumlah fakta peristiwa. Misalnya, pada 2017 musyawarah desa menyepakati pembukaan tiga jalan, yakni: Jalan Urawan, Jalan Jelayan dan Jalan Usaha Tani Pahiyan.

Namun demikian, pada 2017 hanya dua jalan yang dimasukkan dalam APBDes tahun 2017. Sedangkan, untuk jalan Usaha Tani Pahiyan dianggarkan pada 2018.

Menurutnya, pengerjaan ketiga jalan tersebut telah dirampungkan oleh vendor CV Bukit Pendulangan pada 2017. Namun, untuk jalan Usaha Tani Pahiyan tak dibayarkan oleh pemerintah Desa Kinipan kala itu sehingga perusahaan melakukan penagihan.

"Inilah yang membuat inisiatif terdakwa melakukan pembayaran terhadap CV Bukit Pendulangan," jelasnya di ekspesi.

Hengki, disebut telah berkonsultasi ke sejumlah instansi pemerintah lain untuk membayarkan proyek itu. Misalnya, ada 4 April 2019 ia bertemu dengan pihak Dinas Pemberdayaan Desa Kabupaten Lamandau. Lalu, 8 April 2019 ia menghadap Inspektorat Kabupaten Lamandau.

Terakhir, pada 10 April 2019 ia bertemu dengan Wakil Bupati Lamandau Riko Porwanto. Menurutnya, pembayaran itu telah disetujui oleh pihak-pihak yang ditemui namun harus tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dan tidak ada niat korupsi.

Willem, kata pengacara, juga sempat diperiksa oleh Inspektorat Kabupaten Lamandau berdasarkan Surat Perintah Bupati Lamandau Nomor: 130/16/I/PEM.2020 tertanggal 31 Januari 2020 terkait dengan pembayaran tersebut.

Namun, hingga saat ini kliennya tak menerima hasil dari pemeriksaan khusus (RIKSUS) dari Inspektorat selaku aparat internal pengawas pemerintah (APIP). Padahal, dalam Pasal 20 ayat 2 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, hasil pemeriksaan itu harus ditujukan kepada terdakwa.

"Menunjukkan satu bukti bahwa terdakwa memang telah bidik untuk diarahkan ke mekanisme penegakan hukum secara hukum pidana tanpa harus melalui mekanisme APIP," tulis pengacara dalam eksepsi.

"Padahal dalam kasus ini belum ada hasil RIKSUS dari Inspektorat Kabupaten Lamandau," tambahnya.

Pengacara beranggapan bahwa surat dakwaan yang diajukan Jaksa tidak jelas lantaran disusun dengan tidak cermat. Dakwaan dianggap tidak membeberkan pasal terkait perbuatan terdakwa secara menyeluruh seperti yang diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor: SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan.

Dalam sidang perdana di Pengadilan Tipikor Palangka Raya pada 31 Januari lalu, Willem didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp261.356.798,57 atas pengelolaan keuangan desa yang dilakukan tidak secara transparan, akuntabel, dan partisipatif.

Wilem disebut secara sengaja menganggarkan pekerjaan yang telah nyata sudah dilaksanakan tahun 2017 dan membayarkan pekerjaan itu tanpa disertai dokumen pendukung yang diperlukan untuk pencairan anggaran. Kerugian negara itu berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diterbitkan pada 19 Mei 2021.

(mjo/kid)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK