Jakarta, CNN Indonesia --
Prediksi Jakarta tenggelam akibat penurunan muka tanah menyisakan keresahan. Bagaimanapun, pakar mencatat ibu kota masih bisa diselamatkan tanpa mesti buru-buru bedol desa ke ibu kota negara (IKN) baru.
Beberapa pihak memprediksi sebagian Jakarta tenggelam 10 tahun lagi, atau 2030, atau 2050, sebagai dampak penurunan permukaan tanah akibat penyedotan air tanah berlebih. Ada pula yang menyebut tenggelamnya Jakarta karena naiknya air laut.
Bukti konkretnya, masjid Wal Adhuna, Muara Baru, Jakarta Utara, yang berada di luar Tanggul Jakarta, perlahan terendam air; serta Gedung peninggalan kolonial Belanda, Onderlinge Levensverzekering Van Eigen Hulp (Olveh), yang pada 2016 sudah berada di 95 sentimeter di bawah permukaan jalan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bella, warga RT 05 RW 22 Dermaga Ujung, Muara Angke, mengaku takut dengan prediksi tersebut. Namun, ia enggan pindah ke lokasi lebih aman lantaran terkait nafkah.
"Namanya juga pemukiman nelayan, mencari nafkah, tempat berteduhnya. Kalau di kampung susah nyari duitnya. Susah minta ampun. Dari pagi sampe sore Rp25 ribu," ujar dia, yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga itu, Januari lalu.
Niar (39), warga Penjaringan, Jakarta Utara, mengaku sering mendengar prediksi itu dan mempercayainya. Ia sudah terbiasa terendam sebelum Jakarta benar-benar tenggelam.
"Tau keumuran, tau enggak [saat Jakarta benar-benar tenggelam]. Gimana entar aja. Itu kan masih ramalan ibaratnya. Sekarang aja mah mau tenggelam juga kemaren udah sepinggang berdiri mah kerendem," selorohnya, saat ditemui Januari lalu.
Rizky Suryana, seorang pekerja lepas yang Tinggal di Matraman, Jakarta Timur, mengaku cukup resah lantaran bukti Jakarta tenggelam itu sudah dirasakan sendiri berdasarkan pengalaman banjir 2012.
Saat itu, air mencapai ketinggian sekitar satu meter di sekitar RS Persahabatan, Jakarta Timur. Padahal, pada saat yang sama pengerukan kali dan program penanggulangan banjir masih berjalan.
Thalitha Avifah Yuristiana (Pekerja Swasta) Tinggal di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, risau terhadap prediksi Jakarta tenggelam karena itu akan jadi beban generasinya."Jadi meskipun sungai Ciliwung dan lain-lain sudah dilakukan semacam pengurukan, tapi gua tetep aja ngerasain ada banjir. Karena lama-kelamaan tanah di Jakarta makin turun," ujarnya, Selasa (22/2).
"Cukup miris karena lagi-lagi generasi muda termasuk saya adalah kelompok yang akan terdampak ke depannya," ujar dia.
Bukan Cuma Ramalan
Peneliti geodesi dan geomatika Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas dalam studinya menjelaskan permukaan tanah di DKI rata-rata mengalami penurunan 1-20 cm per tahun.
Pada 2020, wilayah DKI yang sudah berada di bawah permukaan laut bertambah 9.556 hektare atau 14,43 persen dari total wilayah Jakarta.
"Kita sudah punya datanya, hampir 20 persen total wilayah Jakarta di bawah laut. Penurunan tanah lah yang signifikan menyebabkan banjir rob. Dan sekarang tidak terbantahkan," ucapnya, saat diwawancara via video konferensi, Kamis (10/2).
Heri berpandangan penurunan muka tanah itu terjadi karena beberapa faktor, seperti beban dari bangunan, aktivitas tektonik, pengambilan air tanah yang berlebihan, hingga pemadatan tanah atau kompaksi alamiah. Dari sejumlah faktor itu, yang paling signifikan adalah pengambilan air tanah.
Penurunan muka tanah itu pun disebutnya sebagai 'silent killer' lantaran menyebabkan bencana secara perlahan. Beberapa dampak yang bisa dirasakan yaitu banjir rob, kerusakan infrastruktur, fissures (retak bangunan) dan sinkhole (amblas), perluasan area banjir, dan penurunan kualitas lingkungan.
Bersambung ke halaman berikutnya...
[Gambas:Video CNN]
Profesor Riset bidang Geoteknologi-Hidrogeologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Robert Delinom juga melihat penurunan muka tanah di DKI mencapai 0,1-8 cm per tahun. Khusus periode 2000-2005, penurunannya mencapai 5 hingga 15 sentimeter per tahun.
"Besar penurunan permukaan tanah berbeda-beda di setiap wilayah. Faktor utamanya adalah kondisi air bawah tanah yang kualitasnya semakin menurun," jelasnya.
Juru Bicara Kementerian PUPR Endra S Atmawidjaja mencatat perbedaan laju penurunan di berbagai wilayah di Jakarta. Di antaranya, penurunan tanah di Pantai Dadap, Muara Angke, Jakarta Utara, mencapai 4 cm per tahun;
Pelabuhan Sunda Kelapa dan Ancol 3 cm per tahun; Pelabuhan Tanjung Priok, Kalibaru 1 cm per tahun; Marunda sampai Bekasi 3 cm per tahun; Muara Baru dan Muara Karang 10 cm per tahun.
Soal penyebabnya, Endra sepakat dengan para pakar yang menuding ulah eksploitasi air tanah."Jadi artinya laju penurunan muka tanah atau land subsidence itu 1-10 cm per tahun," ucapnya, saat dihubungi, Rabu (23/2).
"Ada eksploitasi pengambilan air tanah yang berlebihan yang sudah berpuluh-puluh tahun untuk konsumsi masyarakat dan itu yang penyebabnya. Selain faktor lain yaitu sea level rise akibat perubahan iklim. Jadi tanah turun, laut naik, makanya masuk ke darat," terang Endra.
Laju Menurun
Belakangan, kata Heri, kabar baik mendatangi Jakarta. Riset terakhirnya di 2021 memperlihatkan ada pelambatan laju penurunan muka tanah di sejumlah area, dari yang sebelumnya 20 cm menjadi 10 cm.
"Tapi misalnya Kelapa Gading, Ancol, lajunya nurun, Muara Baru nurun. Itu good news ya," sambungnya. "itu confuse ya. Kenapa yang 20 cm-nya hilang? Itu masih kita analisis. tapi ada perlambatan kecepatan di banyak tepat, tetapi ada sedikit percepatan di tempat lain, Jakarta Barat, Kamal Muara, Kosambi, dia malah lajunya naik," ujar dia.
Pihaknya saat ini masih meneliti penyebab pelambatan laju itu. Sejauh ini, dugaannya terkait dengan beban urukan tanah atau kompaksi sudah mencapai titik maksimum, atau ada eksploitasi air tanah yang lebih dalam.
Selain itu, Heri memperkirakan ada kontribusi dari penurunan aktivitas di perhotelan dan industri selama pandemi. "Kelihatannya ada korelasi [dengan] laju penurunan tanah."
Di luar itu, ia melihat ada dampak positif dari tanggul pantai Jakarta berupa pengurangan titik banjir rob.
 Insert Infografis 8 Tempat Terbesar Pengguna Air Tanah di Jawa Barat. (Foto: CNN Indonesia/Asfahan Yahsyi) |
"Setelah dibuat tanggul-tanggul, meski belum selesai, itu sudah mengurangi titik banjir rob. 2007 lebih dari 20 lokasi. Sekarang itu tersisa delapan lokasi saja," ungkapnya.
"Sehingga saya berkesimpulan bahwa ya Jakarta bisa selamat," aku Heri.
Terpisah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi alias Bagus juga mengakui Jakarta bisa selamat dari ancaman tenggelam. Syaratnya yang utama adalah komitmen terhadap penanganan krisis iklim.
"Bisa, kalau itu, pertama, persoalan iklim secara global diatasi oleh seluruh pemerintah dan penurunan tanahnya dihentikan," ucap dia.
"Syaratnya harus cepat. Karena ancaman dengan pemulihannya sekarang masih berbeda. Ancamannya lambat, pemulihannya cepat," lanjutnya.
Sependapat, Robert Delinom optimistis laju penurunan tanah di Jakarta dan kota lain di kawasan Pantura bisa direm. Salah satunya dengan mencegah kerusakan lingkungan dan melakukan strategi yang bersifat adaptif.
"Perlu dipertimbangkan pembuatan beting gesik (formasi endapan sedimen laut untuk menahan gelombang) dan hutan mangrove karena telah terbukti cukup efektif dalam meredam laju masuknya rob ke daratan," katanya.
Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Yusmada Faizal juga mengakui tren penurunan muka tanah daerah pesisir Jakarta pada periode 2007 hingga 2017 merupakan efek upaya perluasan jaringan pipa PAM.
"Ini menunjukkan bahwa penurunan tanah di Jakarta masih terjadi, tapi laju kedalamannya atau tingkat penurunannya sudah berkurang. Ini tentu karena salah satunya adalah dengan memastikan suplai air perpipaan. Kedua berupaya mengendalikan air tanah," tutupnya.
 Infografis fakta banjir rob yang bakal landa ujung utara jakarta. (Foto: CNN Indonesia/Fajrian) |
Endra juga memastikan pihaknya akan tetap menggarap program penanganan banjir di Jakarta meski Undang-undang Ibu Kota Negara (IKN) sudah disahkan.
Misalnya, normalisasi dan sodetan Sungai Ciliwung, pompa Ancol, pembangun tanggul pantai yang kini sudah beres 13 km dari total 46,2 km yang jadi tugas Kementeriannya.
"Kalau kita punya rata-rata 3 km per tahun mungkin 3-4 tahun lagi selesai," ujarnya.
Menurutnya, 'penyelamatan' Jakarta tetap penting dilakukan mengingat aset ekonomi di wilayah ini sangat besar.
"Katakanlah IKN pindah, kan DKI tetap jadi pusat ekonomi di Indonesia. Di sini sudah akumulasi kapital dan orang bertalenta berkualitas ada di sini semua dan infrastruktur lengkap semua, tidak mungkin tidak punya peran," tandas Endra.