Ahli menyebut penurunan muka tanah di DKI Jakarta bisa memberikan sejumlah ancaman bagi warga kota.
Menurut Dicky Muslim, Dosen Fakultas Geologi Universitas Padjadjaran, ancaman bahaya yang mengintai banyak terkait dengan bencana geologi, hidro-meteorologi dan sosial juga.
"Banjir yang makin meluas dan sering, kerusakan/kemiringan gedung/infrastruktur akibat differential settlement, dll (dan lain-lain) yang akhirnya menyebabkan wilayah ini menjadi tidak nyaman untuk ditinggali," terangnya saat dihubungi Minggu (20/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia pun tak menampik kemungkinan jika Jakarta berpotensi tenggelam pada 2050. Namun menurut Dicky, berdasarkan peta penurunan lahan Jakarta, umumnya Jakarta bagian utara yang semakin turun dan berpotensi tenggelam.
"Jakarta utara bisa tenggelam di tahun 2050, dengan prasyarat bahwa laju penurunan tetap terjadi dan ditambah naiknya muka air laut akibat pemanasan global," tuturnya.
Namun menurut Dicky, secara geologis Teluk Jakarta pasti akan mengalami penurunan tanah pada lokasi-lokasi tertentu. Hal ini menyebabkan beberapa lokasi bisa lebih cepat terendam air laut sebelum 2050.
"Karena faktor-faktor pendukung amblasan dan naiknya muka air laut tidak tertangani dengan baik. Tinggal kita melakukan mitigasi untuk mengurangi kerugian," jelasnya.
![]() |
Menurut Dicky berdasarkan data yang sudah dipublikasi secara umum laju penurunan tanah di Jakarta berbeda di tiap titik. Angka maksimum penurunan tanah mencapai 12 cm/tahun.
Senada, hasil penelitian LIPI menunjukkan pada 2000 hingga 2005, permukaan tanah Jakarta mengalami penurunan sekitar lima hingga 15 sentimeter setiap tahun.
"Besar penurunan permukaan tanah berbeda-beda di setiap wilayah. Faktor utamanya adalah kondisi air bawah tanah yang kualitasnya semakin menurun," jelas Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Robert Delinom beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, faktor lain yang ikut mendukung penurunan permukaan tanah adalah pertambahan bangunan dalam skala masif yang terjadi setiap tahun. Bangunan-bangunan untuk kepentingan industri, perkantoran, perumahan menyebabkan daerah resapan air semakin menipis. Hal itu harus ditata ulang oleh pemerintah.
Namun, lantaran saat ini riset-riset masih berlangsung oleh beberapa institusi, sehingga menurutnya peluang untuk mendapatkan data berbeda akan terbuka lebar.
"Kalau kita lihat salah satu parameter kasat mata dari penurunan lahan di Jakarta yaitu berupa banjir, maka nampaknya penurunan ini masih terjadi," jelasnya.
![]() |
Berdasarkan laporan ESDM, banjir rob terjadi sebagai hasil dari amblasan atau penurunan muka tanah di Jakarta.
Berdasarkan data tersebut, faktor penyebab penurunan muka tanah ini terjadi secara geoteknik dan geologi.
Secara geoteknik, penyebab penurunan tanah akibat pengambilan air tanah berlebihan, konsolidasi alami, dan beban bangunan. Sementara secara geologi penyebabnya akibat tektonik.
Faktor tektonik terkait dengan endapan sedimen kwarter yang hanya ada di kawasan Jakarta dan Bekasi.
Menurut Dicky, material bawah permukaan di kawasan Jakarta berupa Alluvium (endapan sungai, danau, delta dan endapan laut) yang secara alamiah belum mengeras, sehingga masih berpeluang mengalami 'pemampatan' yang menyebabkan turunnya tanah di kawasan ini.
Lebih lanjut, menurut Dicky solusi untuk mengurangi laju penurunan tanah sangat sulit. Sebab, beberapa faktor penurunan terjadi akibat proses alamiah yang sulit untuk direkayasa.
"Harus didukung oleh pengurangan aktifitas penting manusia, seperti ekstraksi air tanah, pembangunan infrastruktur, dll (dan lain-lain). Sehingga bisa memakan biaya sangat besar, biaya: finansial, sosial, dll," jelasnya.
Menurut laporan ESDM, penyebab penurunan air tanah Jakarta yang dapat diintervensi hanya air tanah. Namun, penyebab lain sulit untuk direkayasa.
(eks)