Bangsa Indonesia pernah mengalami sejarah kelam saat sentimen rasialisme mencuat ke permukaan dan memicu kekerasan ekstrem di tengah masyarakat.
Peristiwa itu terjadi kurang dari sebulan setelah kemerdekaan 1945. Di berbagai wilayah, gelombang kekerasan ekstrem itu terjadi secara masif dan serentak. Sasarannya adalah mereka yang dibedakan berdasarkan jenis kulit.
Sejarawan Bonnie Triyana, dalam artikelnya di situs Historia.id pada 12 Januari lalu, menyebut kekerasan pada masa itu sebagai periode "bersiap". Sebetulnya, kata Bonnie, istilah "bersiap" lebih dikenal di kalangan warga Belanda yang kala itu baru saja keluar dari kamp tahanan usai Jepang menyerah pada tentara sekutu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Peristiwa ini kita tahu, terjadi pembunuhan terhadap mereka yang pada masa Jepang ditahan di banyak kamp interniran. Jadi sasaran kemarahan," kata dia dalam diskusi daring, Selasa (21/2).
Menurut dia, aksi kekerasan terjadi mulai September hingga awal 1946. Dia mengklasifikasikan lima kelompok masyarakat berdasarkan ras yang menjadi korban kekerasan dalam periode "bersiap", yakni warga kulit putih Belanda, Indo-Belanda, Tionghoa, Ambon, dan mereka yang dianggap menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda.
Lihat Juga : |
Namun, istilah "bersiap" yang dikenal Belanda, oleh masyarakat Indonesia juga dikenal dengan banyak istilah lain namun masih menggambarkan kondisi yang sama. Di kawasan Selatan Jakarta seperti Depok, tulis Bonnie, periode itu dikenal dengan istilah "gedoran".
Di Jawa Tengah, masyarakat menyebut periode Revolusi itu dikenal dengan "gegeran". Di Jawa Barat dan Banten, dikenal dengan istilah "ngeli".
Namun, Bonnie menggambarkan periode itu hanya sebagai puncak gunung es yang berakar sejak masyarakat pribumi hidup di bawah kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang di masa Perang Dunia II. Para warga kulit putih Belanda, Tionghoa, Ambon dianggap sebagai simbol kolonial sehingga membentuk persepsi di tengah masyarakat siapa kawan dan lawan.
"Jadi, kategori atau identifikasi atas lawan dan kawan di masa revolusi itu sangat erat kaitannya dengan situasi di masa kolonial," katanya.
Meski begitu, di sisi lain, selama periode yang sama 1945-1950, kekerasan juga dilakukan oleh Belanda saat hendak merebut kembali Indonesia pasca Jepang menyerah ke tentara sekutu. Fakta itu diperkuat dalam hasil penelitian yang dilakukan selama empat tahun sejak 2017.
Belakangan, karena penelitian itu, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte meminta maaf soal kekerasan ekstrem yang terjadi selama periode itu. Hasil studi itu menyebut, Belanda banyak melakukan aksi kekerasan dengan membakar desa-desa, melakukan penahanan massal, penyiksaan, hingga eksekusi warga pribumi.
Studi menyebut, aksi kekerasan didukung secara diam-diam oleh pemerintah Belanda.
"Hari ini, atas nama pemerintah Belanda, saya menyampaikan permintaan maaf terdalam saya kepada rakyat Indonesia atas kekerasan sistematis dan ekstrem dari pihak Belanda pada tahun-tahun itu," kata Rutte dalam konferensi pers, dikutip dari AFP, Kamis (17/2).