Sumur Resapan Anies, Jurus Pengendali Banjir dan Tudingan Pemborosan
Politisasi dan pola pikir meraup proyek dinilai menghambat perkembangan sumur resapan sebelum bisa dibuktikan efektivitasnya sebagai strategi alternatif kontra-banjir di Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi sumur serapan jadi salah satu jurus andalan menangkal banjir di ibu kota. Namun program ini kerap ditentang lawan politik di DPRD yang menilainya sebagai program sia-sia dan pemborosan anggaran.
Ahli hidrogeologi dari Masyarakat Air Indonesia (MAI) Fatchy Muhammad menjelaskan sumur resapan menggunakan konsep drainase vertikal yang dimaksudkan untuk meresapkan air ke tanah dan menyimpannya sebagian untuk musim kemarau.
Ini berbeda dengan konsep drainase horizontal warisan kolonial Belanda yang berupaya membuang air ke laut, seperti pembuatan selokan atau pelebaran sungai.
Semakin banyak sumur resapan, maka semakin banyak pula air yang menyerap di tanah sehingga yang terjadi adalah konservasi air.
"Sebenarnya yang butuh air itu tanah, bukan laut. Jadi pas air laut naik, keluar [dari daratan]," kata Fatchy saat ditemui di kediamannya, di Jakarta Selatan, (10/2).
Lihat Juga :LIPUTAN KHUSUS Benteng Rapuh Warga Pesisir Jakarta Hadang Banjir Rob |
Menurutnya, konsep drainase horizontal sejauh ini gagal jadi solusi selama lebih dari 400 tahun, terhitung sejak Jakarta mulai kebanjiran pada 1621 hingga kini.Ia menilai sumur resapan jadi cara efektif untuk mengatasi banjir. "Bisa banjir berhenti kalau semua orang melakukan yang sama," ujarnya.
Ketika air di buang ke laut, kata Fatchy, volume air akan bertambah, ketinggian laut akan semakin naik, dan akhirnya tumpah ke pemukiman warga berupa banjir rob.
"Cara Belanda, salurannya diperbesar. Istilah mereka dinormalin atau normalisasi. Padahal bibit masalahnya, air yang masuk berkurang," kata dia.
Terlebih, berdasarkan pengamatannya, Jakarta pada musim kemarau sering mengalami defisit air rata-rata 10m³/detik. Sebaliknya, pada musim hujan DKI surplus air sampai 2.000 m³/detik sehingga terjadi banjir.
Lihat Juga : |
"Ada salah manajemen. Padahal kalau 2000 m3 [air] disimpan, ini bisa dua kali lipatnya buat [cadangan] di musim kemarau," ucapnya.
Berbeda dengannya, pakar Hidrologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Pramono Hadi menilai program sumur resapan tidak tepat dipakai di Jakarta.
Menurutnya, daratan Jakarta secara umum merupakan kombinasi antara endapan laut dan muara sungai. Sehingga, lapisan tanahnya cenderung bersifat liat.
"Tanah liat itu akan susah untuk meresapkan air, poinnya di situ. Sehingga kalau di sana dibuat resapan mungkin tidak terjadi resapan," ujar Pramono, Januari lalu.
"Itu enggak akan efisien. Apalagi mungkin air tanah beberapa tempat di Jakarta itu dangkal, ya tidak efektif," katanya.
Terlebih sumur resapan jika sudah terlalu penuh, tidak bisa meresap dan pada akhirnya juga akan meluap.
Lihat Juga : |
Fatchy menjawabnya bahwa sumur resapan memang tidak difokuskan di Jakarta Utara yang struktur tanah lempungnya memiliki daya resap rendah.
Berdasarkan data dari Dinas Sumber Daya Air (SDA) Provinsi DKI Jakarta per 2 Februari, puluhan ribu titik sumur resapan berbagai jenis sudah terbangun dan tersebar di semua kota kecuali Jakarta Utara.
Angka itu merupakan program 2021 dengan total nilai kontrak Rp386,19 miliar. Itu terdiri dari, pertama, sumur jenis buis beton terbangun 25.247 titik (49.547 m3). Nilai kontraknya mencapai Rp276,75 miliar. Sisa pengerjaan di 132 titik (259 m3).
Kedua, kolam modular dengan volume berkontrak 18.224 m3 senilai Rp100,25 m; ketiga, optimalisasi sumur resapan, volume berkontrak 380 m3, nilai Rp9,19 m, 100 persen
"Kalau di daerah [Jakarta Utara] udah lempung, memang kita tidak menyarankan itu," kata Fatchy.
"Kita ambil yang maksimum, yang dibutuhkan air bagian selatan sebenarnya tempat nyimpen airnya, karena air ngalir ke bagian utara," lanjutnya.
Satu Rumah Satu Sumur
Fatchy menilai masih banyak warga Jakarta yang asing dengan konsep sumur resapan. Sebab, konsep drainase horizontal peninggalan Belanda kadung melekat di kepala.
Padahal, sumur resapan itu sudah diwajibkan dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 68 Tahun 2005 tentang Pembuatan Sumur Resapan. Salah satunya, setiap bangunan dengan luas 100 m2 harus membuat satu sumur resapan.
"Setiap bangunan cukup 1 sumur resapan. kalau curah hujan 40 mm artinya 40 liter per m2," jelasnya.
Pasal 4 ayat 1 juga menyebut bahwa sumur resapan wajib untuk perorangan dan badan hukum. Beberapa kriteria yang harus membuat sumur resapan yaitu setiap penanggung jawab bangunan yang menutup permukaan tanah dan setiap pemohon dari pengguna sumur dalam.
Lalu, setiap pemilik bangunan berkonstruksi pancang dan/atau memanfaatkan air tanah dalam yang lebih dari 40 m. Terakhir, setiap usaha industri yang memanfaatkan air tanah permukaan.
Lihat Juga :LIPUTAN KHUSUS Jakarta Tenggelam: Air Laut Naik atau Muka Tanah Turun? |
Sayangnya, kata Fatchy, peraturan itu tak dilaksanakan selama bertahun-tahun. Sumur resapan baru diimplementasikan pada masa Gubernur DKI Jakarta dijabat Joko Widodo yang kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Anies Baswedan.Pasal 4 ayat 2 juga menyatakan pembuatan sumur resapan diwajibkan terhadap pengembang yang akan membangun di atas lahan lebih dari 5.000 m2.
"Jadi DKI juga pernah merasa salah, dia bikin aturan tapi tak pernah dilaksanakan," ucapnya.
Bersambung ke halaman berikutnya...