Ucapan itu terlontar dari Anna dan Siska (bukan nama sebenarnya), dua anak yang jadi korban kekerasan seksual di Bengkayang, Kalimantan Barat. Meski bayang-bayang trauma belum sepenuhnya hilang, mereka sepakat hidup harus terus dijalani.
Anna dan Siska adalah dua dari sembilan anak yang jadi korban perkosaan di suatu Sanggar Tari di kota yang berjarak 213 kilometer dari Pontianak tersebut. Selain sembilan anak, dua perempuan berusia 18 tahun juga jadi korban kekerasan seksual pelaku yang sama.
Cerita Anna dan Siska hampir sering ditemukan di Indonesia yang saat ini tengah dalam situasi darurat kekerasan seksual: diperkosa oleh orang yang seharusnya bisa dipercaya. Orang dekat dalam lingkaran kehidupan korban.
Dalam kasus mereka, oleh sosok yang menyandang status guru tari.
Peristiwa itu terjadi dalam rentang waktu Agustus 2020 hingga Januari 2021. Pelaku sudah diproses hukum dan divonis 20 tahun penjara.
Namun, korban dan pihak keluarga tidak puas dengan putusan hakim tersebut. Anna dan Siska khawatir lantaran pelaku saat menjalani proses hukum sempat memberikan ancaman.
Korban belum mendapat rasa aman.
"Kita tahu 20 tahun penjara itu enggak mentok 20 tahun, bisa saja ada potongan segala macam. Menurut mereka [korban] itu enggak setimpal," ujar Betty Lestari, pendamping korban dari Wahana Visi Indonesia (WVI)-organisasi kemanusiaan kristen yang fokus terhadap isu perlindungan anak, saat ditemui di Bengkayang, Selasa, awal Februari lalu.
Ayah Anna bercerita pelaku sesungguhnya bukan dari daerah tempat tinggalnya, meski istri pelaku berasal dari kampung yang sana. "Istrinya sepupu (kami) juga. Masih keluarga," ujar Ayah Anna di tempat yang sama.
Pelaku melakukan perbuatan jahat dalam keadaan sadar dengan muslihat pengobatan alternatif 'kunci batin'. Kasus ini kemudian terungkap berkat keberanian Anna melaporkan kejadian ke orang-orang terdekat.
Anna berinisiatif menghubungi pihak komunitas sanggar tari di Kabupaten Landak dan memperoleh fakta yang tidak beres: bahwa ritual yang dilakukan gurunya tidak pernah ada di kelompok sanggar tari di Dayak. Seiring waktu, ia dengan didampingi Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Bengkayang melapor ke polisi.
Anna, Siska, dan beberapa korban lainnya saat ini mendapat perlindungan dan layanan dari UPTD PPA Kabupaten Bengkayang dan Wahana Visi Indonesia.
Beruntung bagi mereka, akses terhadap layanan hukum dan psikologis bagi korban dan keluarganya tidak sulit, karena jarak antara desa mereka dengan dengan instansi terkait seperti kpolisian tidak jauh.
Mendapatkan keadilan hukum terhadap tindakan perkosaan yang mereka alami adalah satu hal. Menjalani kehidupan selanjutnya adalah hal berbeda. Acap kali, mereka yang mengalami kekerasan seksual justru menjadi "korban" kedua kali ketika mendapat pengucilan dari keluarga, teman di sekolah, atau masyarakat sekitar.
Jangankan restitusi atau ganti rugi secara materiil, banyak dari korban kekerasan seksual di Indonesia yang hak pendidikannya kemudian tercabut.
Anna dan Siska berbeda. Perjuangan mereka untuk bangkit dari trauma terbantu oleh lingkungan. Mereka sempat ditempatkan di rumah aman di Bengkayang selama satu bulan, serta sempat mendapat konseling dari psikolog yang mumpuni di Pontianak selama beberapa hari.
Keduanya menuturkan, pihak sekolah juga bersikap tegas untuk memberikan perlindungan dan memenuhi hak atas pendidikan.
"Dukungan dari guru banyak. Pas di shelter (rumah aman) mereka datang beri semangat. Dari kepala sekolah bilang 'kalau ada yang misalnya membahas masalah itu, nanti dikeluarkan dari sekolah'," tutur mereka.
Magdalena Sima dari Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) yang berada di bawah Pemerintah Desa mengatakan pihaknya bekerja keras memberikan pemahaman dan edukasi kepada lingkungan sekitar korban.
Secara paralel, para korban juga mendapat bimbingan rohani dari gereja setempat.
"Kami di masyarakat juga memberikan (pemahaman) 'jangan dicap jelek karena ini bukan salah mereka (korban).' Puji Tuhan sampai saat ini enggak ada masyarakat desa yang sampai membuat mereka down," tutur Sima.
"Untuk kasus ini memang desa sangat luar biasa. Kepala desanya (membantu) baik dari dana dan segala macam. Perangkat (desa)-nya dilibatkan untuk ini, Jadi, mem-back up biar kasus ini tidak sampai mengganggu pikiran anak-anak, jadi orang tua bisa kembali menerima mereka," lanjut Sima.
Dukungan lingkungan sekitar memang berpengaruh penting terhadap pemulihan mental para korban. Anna dan Siska saat ini berangsur sudah bisa kembali beraktivitas sebagaimana biasanya. Dengan tetap dimonitor oleh pendamping dan pihak keluarga, keduanya saat ini aktif mengikuti kegiatan futsal di suatu komunitas.
Orang tua dan pendamping pun memberikan semangat.
"Kejadian ini bukan akhir dari hidup kalian. Kami mengatakan kepada mereka jika ada apa-apa silakan hubungi kami, kami siap kapan pun jika dibutuhkan," tambah Sima.
Desakan RUU TPKS Disahkan Jadi UU
Angka kasus kekerasan terhadap anak-termasuk kekerasan seksual-di Bengkayang cenderung tinggi dalam dua tahun terakhir.
Data UPTD PPA Kabupaten Bengkayang mengungkapkan selama kurun waktu tersebut setidaknya sudah ada 42 korban terkait kekerasan anak, 25 di antaranya berkaitan dengan kekerasan seksual.
Payung hukum untuk penanganan hingga pemulihan korban kekerasan seksual yaitu Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sangat mendesak untuk segera disahkan menjadi UU.
Penanganan hingga pemulihan korban kekerasan seksual di pelosok desa yang notabene berbeda dengan daerah urban, karena mempunyai akses sulit untuk layanan hukum dan psikologis, harus dipertimbangkan secara matang dalam payung hukum tersebut.
"Upaya untuk peningkatan layanan itu yang harus dilakukan. Kemudian mendekatkan layanan itu ke masyarakat," kata Daniel Setiawan Tamba dari Divisi Area Program Manager WVI Kantor Operasional Bengkayang.
"Kalau misalnya unit-unit layanan itu bisa dibuat di tingkat kecamatan itu jauh lebih menolong."
[Gambas:Infografis CNN]
Sebagai organisasi kemanusiaan yang fokus terhadap perlindungan anak, WVI mempunyai catatan kritis terhadap RUU TPKS yang telah ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR pada Rapat Paripurna 18 Januari 2022.
Saat ini, pemerintah telah rampung menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) terhadap naskah RUU TPKS tersebut. DPR sendiri berjanji akan membahas RUU TPKS dalam masa reses ini. Pemerintah mengklaim mengupayakan berbagai substansi penyempurnaan terhadap RUU TPKS yang telah disusun oleh DPR, mulai dari terobosan terkait pengaturan ketentuan pidana yang saat ini mencakup tujuh jenis kekerasan seksual hingga hukum acara.
"Kita sudah mengkonstruksikan hukum acara yang memang kemudian lebih mudah dari segi pembuktian, proses, dan lain sebagainya. Dalam RUU TPKS ini soal hak korban seperti perlindungan dan pemulihan dipenuhi," terang Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy Hiariej, dalam keterangan tertulis, Jumat (11/2).
Manager Advokasi WVI, Junito Drias, mengatakan pihaknya sudah melakukan audiensi dengan beberapa pihak terkait, untuk menyampaikan sejumlah pandangan. Pertama, mendorong agar seluruh Pasal kekerasan seksual terhadap anak bukan lagi delik aduan.
Hal itu menyangkut Pasal 4 ayat 3 RUU TPKS yang berbunyi: Pelecehan seksual non fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelecehan seksual fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan delik aduan.
Menurut Junito, delik aduan akan sulit diterapkan dalam konteks wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) karena anak yang menjadi korban kekerasan seksual tidak punya pilihan lain selain bercerita kepada orang tua. Kata dia, hal itu menjadi sulit ketika pelaku merupakan orang terdekat.
"Jadi, delik aduan tidak berlaku ketika korbannya anak di daerah 3T," imbuhnya.
Catatan kedua, terkait unsur cara sebagaimana Pasal 1 ayat 1 RUU TPKS yang berbunyi: Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang bersifat fisik dan/atau nonfisik, mengarah kepada tubuh dan/atau fungsi alat reproduksi secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis.
Junito berpendapat unsur cara seharusnya tidak lagi menjadi syarat untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Menurut dia, ketika seseorang memegang kelamin atau bahkan tubuh anak, itu sudah bisa dianggap kekerasan seksual dan memenuhi unsur pidana. Tak penting apakah ada tipu muslihat, bujuk rayu, dan sebagainya.
"Ini juga terkait dengan seksual konsen yang seharusnya tidak bisa digunakan ketika korbannya adalah anak," tutur dia.
Ketiga, yaitu terkait dengan keterangan alat bukti yang diatur dalam Pasal 18 dan khususnya Pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: Keterangan saksi korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti sah lainnya.
Dalam hal ini, dia mendorong pemerintah melalui rumusan TPKS agar mengatur bahwa polisi harus menganggap tindak pidana kekerasan seksual sudah terjadi sekalipun hanya berdasarkan keterangan korban.
"Cukup satu keterangan korban harus bisa sampai ke fase penyidikan. Kalau tidak, maka banyak kasus di [daerah] 3T tidak bisa diproses karena saksi hampir tidak pernah ada," kata Junito.
[Gambas:Infografis CNN]
"Menunggu hasil visum juga repot karena harus ke RS tingkat kabupaten yang sulit diakses, itu pun baru bisa menguatkan laporan setelah berbulan-bulan karena baru ada dampaknya," sambungnya.
WVI pun mendorong pemerintah agar lebih serius menganggarkan pelayanan kepada anak dengan membentuk UPTD PPA di setiap daerah. Junito berujar hal itu penting karena sampai saat ini UPTD PPA belum merata dengan anggaran yang masih minim.
Poin lain ialah ia berharap RUU TPKS menjadi induk dari peraturan-peraturan turunan untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di institusi-institusi yang dinaungi kementerian.
"Terutama di daerah 3T hal ini sangat penting karena relasi kuasa pemimpin agama maupun adat itu luar biasa kuat. Hampir semua korban tidak berani melapor kalau pelakunya adalah orang yang punya otoritas atau relasi kuasa," kata Junito.
Simak langkah progresif pemerintah desa soal perlindungan anak dan korban kekerasan seksual di laman selanjutnya...
Salah satu gambaran masalah kekerasan seksual pada anak terlihat dari survei WVI pada 2017 silam yang melibatkan 386 anak di Bengkayang. Sekitar 27,2 persen anak menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual dalam 12 bulan terakhir, sementara 41,7 persen mengaku pernah mengalami kekerasan fisik.
Namun, hanya sekitar 43,3 persen anak yang mengetahui harus ke mana mereka melapor kekerasan tersebut.
Pada saat bersamaan, sekitar 603 orang tua di kota tersebut juga mengikuti survei. Dari hasilnya terlihat sekitar 94,7 persen orang tua masih memakai cara-cara kekerasan fisik ketika mendisiplinkan anak. Di sisi lain, hanya terdapat 3,6 persen anak yang bilang mempunyai hubungan baik dengan orang tua.
"Data ini kita pakai untuk data dasar program kita," kata Daniel.
Dalam survei tahun 2019 yang melibatkan 95 anak dan 95 orang tua, diperoleh bahwa 26,53 persen anak menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual selama 12 bulan terakhir. Sedangkan sekitar 39,8 persen anak mengalami kekerasan fisik dalam kurun waktu tersebut.
Terlihat angka kekerasan terhadap anak cenderung menurun meski tidak signifikan.
Dari data itu, organisasi tersebut melakukan serangkaian intervensi, salah satunya lewat program 'Forum Anak' untuk usia anak 12-18 tahun dan 'Kelompok Anak' untuk usia 6-11 tahun.
'Forum Anak' menjadi wadah untuk melatih kepemimpinan anak, life skill atau keterampilan hidup. Selain itu, memberi pelatihan supaya anak bisa mencegah kekerasan seksual dan menjadi edukator bagi teman-temannya dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi dan sebagainya.
Dari 17 kecamatan dan 122 desa di Kabupaten Bengkayang, setidaknya sudah ada 1 kecamatan dan 6 desa yang memiliki program 'Forum Anak'.
Sementara intervensi di lingkungan orang tua, terdapat program 'Pengasuhan dengan Cinta' dengan maksud agar orang tua meninggalkan cara-cara kekerasan dalam mendisiplinkan anak, dengan bekerja sama dengan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di masing-masing desa.
"Kemudian kita lakukan percepatan kepemilikan akta lahir. Kerja sama dengan Dukcapil, kita lakukan jemput bola ke lapangan," tambah Daniel.
Untuk level desa, ada pendampingan terhadap PATBM yang terdiri dari tokoh masyarakat, perangkat desa, hingga pemerhati anak. Tugas PATBM adalah untuk mengedukasi masyarakat terkait hak anak dan upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap anak.
Jika terjadi kekerasan seksual, PATBM mendampingi korban dan keluarganya untuk melapor ke polisi. Sejauh ini, baru ada 4 PATBM yakni di Desa Suka Maju, Cipta Karya, Suka Bangun, dan Bhakti Mulya.
"Dari sisi kitanya kita fasilitasi mereka mengenai pengetahuan-pengetahuan tadi, tentang konvensi hak anak, UU Perlindungan Anak, kemudian pendampingan psikologi, kita latih juga sebagai paralegal karena di sini [Bengkayang] enggak ada LBH," jelas Daniel.
Langkah Progresif Pemerintah Desa
Desa Suka Maju menjadi satu dari dua desa di Kabupaten Bengkayang yang sudah mempunyai Peraturan Desa (Perdes) Perlindungan Anak.
Perdes Nomor 05 tahun 2017 itu mengatur peran dan tanggung jawab pemerintah desa, masyarakat, keluarga hingga orang tua dalam penyelenggaraan perlindungan dan pemenuhan hak anak di desa.
Kepala Desa Suka Maju, Markas, menuturkan pembahasan Perdes tersebut cukup panjang dan alot. Ia menilai perlindungan anak guna menjamin hak-hak anak untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang sangat penting sehingga menjadi dorongan perwujudan aturan tersebut.
"Sosialisasi cukup panjang, alot. Namanya Perdes enggak mungkin hanya kita tulis kemudian di masyarakat terdapat penolakan, itu tidak kita inginkan. Pelan-pelan kita sosialisasi, pakai anggaran dana desa aja sudah 2 kali, secara informal lah ke pasar-pasar, cerita-cerita, ternyata banyak yang setuju terutama ibu-ibu," tutur dia.
Pasal 3 Perdes 05/2017 memuat prinsip-prinsip perlindungan anak yang meliputi nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta penghargaan terhadap pendapat anak-dasar partisipasi anak.
Selain itu, turut diatur sanksi adat dan sanksi administratif bagi pihak-pihak yang tidak menjalankan tanggung jawab dalam rangka melindungi anak.
Markas menekankan poin pemaksaan perkawinan anak.
Pemerintah Desa Suka Maju bertindak tegas dengan menolak mengurus administrasi anak yang dipaksa menikah.
"Banyak angka perkawinan anak, di tim ini buat semacam tugas pada mereka untuk mengecek supaya tahu di dusun-dusun kalau ada kejadian perkawinan anak, termasuk sudah wanti-wanti, orang tua sudah waspada, risiko sudah kami sampaikan apabila terjadi, pengurusan administrasi pernikahan anak kita akan tolak," ucap Markas.
"Sudah kita berlakukan ini tiga tahun lalu, jika mereka mau melahirkan, mau buat KK mereka enggak bisa," sambungnya.
Markas menjelaskan kasus kekerasan seksual terhadap anak masuk ke dalam kategori kejahatan paling berat. Selain hukum positif, pelaku juga bakal dikenai hukum adat.
"Ada hukum adatnya, lebih berat. Kalau rincian (hukuman)-nya banyak. Ketua adat yang mengerti," ungkap Markas.