Menghapus Bayang-bayang Kekerasan Seksual Anak di Sudut Bengkayang

Suhendra Ryan | CNN Indonesia
Rabu, 02 Mar 2022 09:15 WIB
Perjuangan anak untuk bangkit dari kasus perkosaan tidak berhenti di meja pengadilan. Cerita dua perempuan di Bengkayang jadi salah satu contohnya.
Ilustrasi perkosaan (Istockphoto/Coldsnowstorm)

Magdalena Sima dari Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) yang berada di bawah Pemerintah Desa mengatakan pihaknya bekerja keras memberikan pemahaman dan edukasi kepada lingkungan sekitar korban.

Secara paralel, para korban juga mendapat bimbingan rohani dari gereja setempat.

"Kami di masyarakat juga memberikan (pemahaman) 'jangan dicap jelek karena ini bukan salah mereka (korban).' Puji Tuhan sampai saat ini enggak ada masyarakat desa yang sampai membuat mereka down," tutur Sima.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Untuk kasus ini memang desa sangat luar biasa. Kepala desanya (membantu) baik dari dana dan segala macam. Perangkat (desa)-nya dilibatkan untuk ini, Jadi, mem-back up biar kasus ini tidak sampai mengganggu pikiran anak-anak, jadi orang tua bisa kembali menerima mereka," lanjut Sima.

Dukungan lingkungan sekitar memang berpengaruh penting terhadap pemulihan mental para korban. Anna dan Siska saat ini berangsur sudah bisa kembali beraktivitas sebagaimana biasanya. Dengan tetap dimonitor oleh pendamping dan pihak keluarga, keduanya saat ini aktif mengikuti kegiatan futsal di suatu komunitas.

Orang tua dan pendamping pun memberikan semangat.

"Kejadian ini bukan akhir dari hidup kalian. Kami mengatakan kepada mereka jika ada apa-apa silakan hubungi kami, kami siap kapan pun jika dibutuhkan," tambah Sima.

Desakan RUU TPKS Disahkan Jadi UU

Angka kasus kekerasan terhadap anak-termasuk kekerasan seksual-di Bengkayang cenderung tinggi dalam dua tahun terakhir.

Data UPTD PPA Kabupaten Bengkayang mengungkapkan selama kurun waktu tersebut setidaknya sudah ada 42 korban terkait kekerasan anak, 25 di antaranya berkaitan dengan kekerasan seksual.

Payung hukum untuk penanganan hingga pemulihan korban kekerasan seksual yaitu Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sangat mendesak untuk segera disahkan menjadi UU.

Penanganan hingga pemulihan korban kekerasan seksual di pelosok desa yang notabene berbeda dengan daerah urban, karena mempunyai akses sulit untuk layanan hukum dan psikologis, harus dipertimbangkan secara matang dalam payung hukum tersebut.

"Upaya untuk peningkatan layanan itu yang harus dilakukan. Kemudian mendekatkan layanan itu ke masyarakat," kata Daniel Setiawan Tamba dari Divisi Area Program Manager WVI Kantor Operasional Bengkayang.

"Kalau misalnya unit-unit layanan itu bisa dibuat di tingkat kecamatan itu jauh lebih menolong."


Sebagai organisasi kemanusiaan yang fokus terhadap perlindungan anak, WVI mempunyai catatan kritis terhadap RUU TPKS yang telah ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR pada Rapat Paripurna 18 Januari 2022.

Saat ini, pemerintah telah rampung menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) terhadap naskah RUU TPKS tersebut. DPR sendiri berjanji akan membahas RUU TPKS dalam masa reses ini. Pemerintah mengklaim mengupayakan berbagai substansi penyempurnaan terhadap RUU TPKS yang telah disusun oleh DPR, mulai dari terobosan terkait pengaturan ketentuan pidana yang saat ini mencakup tujuh jenis kekerasan seksual hingga hukum acara.

"Kita sudah mengkonstruksikan hukum acara yang memang kemudian lebih mudah dari segi pembuktian, proses, dan lain sebagainya. Dalam RUU TPKS ini soal hak korban seperti perlindungan dan pemulihan dipenuhi," terang Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy Hiariej, dalam keterangan tertulis, Jumat (11/2).

Manager Advokasi WVI, Junito Drias, mengatakan pihaknya sudah melakukan audiensi dengan beberapa pihak terkait, untuk menyampaikan sejumlah pandangan. Pertama, mendorong agar seluruh Pasal kekerasan seksual terhadap anak bukan lagi delik aduan.

Hal itu menyangkut Pasal 4 ayat 3 RUU TPKS yang berbunyi: Pelecehan seksual non fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelecehan seksual fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan delik aduan.

Menurut Junito, delik aduan akan sulit diterapkan dalam konteks wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) karena anak yang menjadi korban kekerasan seksual tidak punya pilihan lain selain bercerita kepada orang tua. Kata dia, hal itu menjadi sulit ketika pelaku merupakan orang terdekat.

"Jadi, delik aduan tidak berlaku ketika korbannya anak di daerah 3T," imbuhnya.

Catatan kedua, terkait unsur cara sebagaimana Pasal 1 ayat 1 RUU TPKS yang berbunyi: Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang bersifat fisik dan/atau nonfisik, mengarah kepada tubuh dan/atau fungsi alat reproduksi secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis.

Junito berpendapat unsur cara seharusnya tidak lagi menjadi syarat untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Menurut dia, ketika seseorang memegang kelamin atau bahkan tubuh anak, itu sudah bisa dianggap kekerasan seksual dan memenuhi unsur pidana. Tak penting apakah ada tipu muslihat, bujuk rayu, dan sebagainya.

"Ini juga terkait dengan seksual konsen yang seharusnya tidak bisa digunakan ketika korbannya adalah anak," tutur dia.

Ketiga, yaitu terkait dengan keterangan alat bukti yang diatur dalam Pasal 18 dan khususnya Pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: Keterangan saksi korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti sah lainnya.

Dalam hal ini, dia mendorong pemerintah melalui rumusan TPKS agar mengatur bahwa polisi harus menganggap tindak pidana kekerasan seksual sudah terjadi sekalipun hanya berdasarkan keterangan korban.

"Cukup satu keterangan korban harus bisa sampai ke fase penyidikan. Kalau tidak, maka banyak kasus di [daerah] 3T tidak bisa diproses karena saksi hampir tidak pernah ada," kata Junito.


"Menunggu hasil visum juga repot karena harus ke RS tingkat kabupaten yang sulit diakses, itu pun baru bisa menguatkan laporan setelah berbulan-bulan karena baru ada dampaknya," sambungnya.

WVI pun mendorong pemerintah agar lebih serius menganggarkan pelayanan kepada anak dengan membentuk UPTD PPA di setiap daerah. Junito berujar hal itu penting karena sampai saat ini UPTD PPA belum merata dengan anggaran yang masih minim.

Poin lain ialah ia berharap RUU TPKS menjadi induk dari peraturan-peraturan turunan untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di institusi-institusi yang dinaungi kementerian.

"Terutama di daerah 3T hal ini sangat penting karena relasi kuasa pemimpin agama maupun adat itu luar biasa kuat. Hampir semua korban tidak berani melapor kalau pelakunya adalah orang yang punya otoritas atau relasi kuasa," kata Junito.

Simak langkah progresif pemerintah desa soal perlindungan anak dan korban kekerasan seksual di laman selanjutnya...

Langkah Progresif Pemerintah Desa

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER