Dua tahun lalu, dalam sebuah video berlatar timbunan besar batu bara yang diunggah di YouTube seorang murid SDN 02 Marunda, Jakarta Utara, mengatakan, "Itulah kepulan asap pabrik yang ada di lingkungan sekolahku. Sesekali, debu batu bara menjadi pelapis meja belajarku."
Kini, kondisinya tak ada yang berbeda, bahkan lebih parah. Debu batu bara berwarna hitam pekat masih terlihat di sejumlah sudut sekolah.
Bukan karena tak dibersihkan, jarak sekolah yang tidak jauh dari aktivitas di Pelabuhan Marunda, Kecamatan Cilincing, membuat debu kembali menempel dengan cepat usai dibersihkan.
"Sehari bisa lima kali kita ngepel, selama efektif anak-anak KBM. Kita mengepel, mengelap. Kasihan petugas kebersihan saya, tapi kalau enggak begitu ya gimana," kata Kepala Sekolah SD 02 Marunda, Nining Suryaningsih kepada CNNIndonesia.com, Rabu (16/3).
Debu hitam terlihat di atas tumpukan buku yang dijadikan pojok membaca, di kaca-kaca hingga lantai, bahkan di lapangan terbuka sekolah yang memiliki siswa sekitar 800 orang itu.
"Mau olahraga, lapangan voli udah hitam-hitam semua. Sebelum olahraga disapu dulu," ujar salah satu guru SD itu.
Menurut Nining, aktivitas di Pelabuhan Marunda yang menyebabkan polusi itu sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Belakangan ini debu yang ditimbulkan justru semakin banyak.
"Aktivitas lebih banyak sehingga dampaknya lebih terlihat dibanding sebelumnya dua tahun yang lalu," katanya.
Selain soal kebersihan, kata Nining, polusi itu berdampak pada kesehatan, keluhan mata pedih, hingga batuk-batuk. Nunung bercerita petugas keamanan di sekolah tersebut sempat mengalami sakit mata hingga seminggu.
"Itu satpam kami [sakit] satu minggu, tetap merah matanya karena sempet dia gosok, dia pikir kelilipan biasa awalnya. Setelah tahu baru bara kalau gatel tidak dikucek pake tangan, tapi pake air. Sempat seminggu satpam saya merah terus," katanya.
Nining mengatakan kondisi semakin parah jika angin yang berhembus kencang. Ia pun tak berani berlama-lama di luar ruangan jika keadaan seperti itu.
"Kalau seperti ini tetap ada, mau ada angin atau tidak tetap si debu itu. Cuma ketika angin kencang terasa banget apalagi kita di luar ruangan, kita pedih di mata," katanya.
Aktivitas di Pelabuhan Marunda tak hanya berdampak di SD 02 Marunda. Tidak jauh dari SD itu, terdapat sekolah satu atap yang terdiri dari SDN Marunda 05, SMPN 290 dan SLB Negeri 08 Jakarta Utara.
Kepala Sekolah SDN 05 Purwatiningsih memperlihatkan kepada CNNIndonesia.com debu yang menempel di sudut jendela ruangannya, hitam dan cukup tebal.
Dari ruangannya yang terletak di lantai 3 itu juga, cukup terlihat gunungan batu bara di Pelabuhan Kawasan Marunda.
"Sejak 2018 dan itu sudah ada ya. Hanya letaknya (gunungan) lebih jauh. Tumpukan enggak banyak. Itu setelah kita PJJ dua tahun, kita kan belajar di rumah, aktivitas ke sekolah juga jarang. Begitu kita liat kok ada di belakang kita (gunungan)," katanya.
Ia bercerita dulu debu beterbangan ke arah sekolah tak begitu banyak, pun terjadi ketika ada angin kencang. Namun sejak gunungan batu bara makin banyak dan dekat, debu beterbangan tanpa henti.
"Enggak separah sekarang, itu tertentu aja kalau pas angin arah ke sini. Enaknya kalau pas ujan, enggak ada debu," ucapnya.
Debu di lantai, kata Purwati, harus disapu dan dipel sedikitnya 4 kali selama aktivitas PTM berlangsung sejak pagi hari. Debu akan tebal terlihat ketika hari Senin.
"Keliatan sekali kalau hari Senin, Sabtu Minggu libur kan," ujarnya.
Di sekolah ini, ada juga seorang siswa yang diduga menjadi korban polusi debu batu bara. Siswa tersebut, bahkan sampai harus operasi mengganti kornea mata.
Cerita itu bermula pada 2019, si anak yang masih kelas 1 SD, mengeluhkan sakit mata. Tak diketahui pasti di mana siswa itu terkena debu, namun selain sekolahnya yang dekat dengan aktivitas pelabuhan, ia juga tinggal di Rusun Marunda, tak jauh dari sekolah.
"Kalau debu biasa enggak mungkin separah jtu, dikucek matanya. Begitu diliat makin merah. Dua hari enggak bisa melek begitu dibawa ke RS sudah bernanah," kata dia.
Perawatan mata dilakukan oleh RSCM dalam jangka lumayan panjang hingga dokter memutuskan harus donor mata. Pada 2021 lalu, si anak mendapatkan donor mata.
Cerita ini juga didapatkan oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti. Pada pekan lalu, Retno dan Anggota DPRD DKI Jakarta Jhonny Simanjuntak menemui warga, dari perwakilan beberapa RT/RW yang tergabung dalam forum warga Marunda.
"Anaknya sekolah. Kalau dia nunduk sering keluar air mata. Sekarang kelas 3," kata Purwati.
Bersambung ke halaman berikutnya...