Unhas Bungkam Soal Disertasi Terapi 'Cuci Otak' Terawan

mir | CNN Indonesia
Jumat, 01 Apr 2022 09:21 WIB
Unhas enggan berkomentar terkait terapi cuci otak dokter Terawan. (Foto: ANTARAFOTO/PUSPA PERWITASARI)
Jakarta, CNN Indonesia --

Universitas Hasanuddin, Makassar, enggan buka suara perihal disertasi mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto terkait terapi dengan metode 'cuci otak'.

Diketahui, Terawan direkomendasikan dipecat dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Salah satu alasan Terawan diberhentikan dari IDI yakni, terapi cuci otak yang sempat menjadi perdebatan dan dinilai telah menyalahi kode etik kedokteran.

Berdasarkan dokumen yang diterima CNNIndonesia.com dan merupakan arsip dokumen per Juli 2018, metode terapi cuci otak Terawan atau dikenal juga sebagai metode Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF) untuk tujuan terapi yang merupakan modifikasi Digital Subtraction Angiography (DSA) itu direkomendasikan untuk dihentikan.

Rekomendasi itu berasal dari Satuan Tugas (Satgas) Penyelesaian Pelayanan Kesehatan dengan Metode IAHF sebagai terapi yang resmi dibentuk oleh Menteri Kesehatan periode 2014-2019 Nila Farid Moeloek.

Nama IAHF baru diperkenalkan Terawan melalui disertasi di Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2016 dan disertasi itu pun dinyatakan lulus.

CNNIndonesia.com mencoba mengonfirmasi kepada Dekan Fakultas Kedokteran Unhas periode 2018-2022 Prof Budu terkait disertasi IAHF Terawan yang dianggap tidak memenuhi kaidah ilmiah. Namun, pihak Kedokteran Unhas enggan menanggapi hal tersebut.

Begitu pun dengan Dekan Fakultas Kedokteran yang baru, Prof Haerani Rasyid saat dikonfirmasi enggan menjawab ketika dimintai keterangan soal disertasi dokter Terawan.

Respons yang sama juga ditujukan oleh Rektor Unhas Prof Dwia Aries Tina Pulubuhu yang coba dikonfirmasi baik sambungan telepon mau WhatsApp.

Sebelumnya, Satgas IAHF telah memberhentikan pelayanan kesehatan dengan metode IAHF di seluruh Indonesia.

"Pelayanan kedokteran dengan metode IAHF untuk tujuan terapi dihentikan di seluruh Indonesia karena belum ada bukti ilmiah yang sahih tentang keamanan dan manfaat IAHF," kata Satgas IAHF.

Satgas menilai, terapi cuci otak Terawan yang telah dilakukan terhadap banyak pasien hingga sekitar 40 ribu orang, namun belum jelas apakah prosedur tersebut telah didukung oleh bukti ilmiah yang sahih sehingga memicu kontroversi baik di masyarakat maupun di kalangan kedokteran.

Penggunaan IAHF dalam pengobatan terawan yang berupa terapi stroke iskemik kronik masih dipertanyakan terkait keselarasannya dengan dengan etika, hukum, dan praktik profesi kedokteran.

"Diperlukan penelitian tentang IAHF untuk tujuan terapi dengan metodologi penelitian yang baik dan benar serta dengan dasar-dasar ilmiah untuk mendapatkan bukti efektivitas dan keamanan IAHF yang dapat diterima secara universal oleh dunia kedokteran," lanjut mereka.

Satgas kemudian membeberkan metode penelitian mereka sehingga kemudian berujung untuk merekomendasikan penghentian praktik cuci otak Terawan. Pertama, seluruh jurnal ilmiah dan penelitian yang dilakukan Terawan tidak sesuai dengan format Evidence based medicine (EBM). Penelitian Terawan juga tidak memenuhi syarat untuk digunakan dasar pemberian terapi.

Kedua, terapi Terawan itu bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tahun 2012 yang merupakan rujukan etika profesi bagi seluruh dokter di Indonesia. Penelitian Terawan dianggap melanggar KODEKI Pasal 6 lantaran tidak memiliki bukti ilmiah sebagai dasar praktik IAHF untuk tujuan terapi.

Ketiga, terapi cuci otak Terawan dinilai melanggar Undang-undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-undang No. 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit lantaran masih belum bisa menunjukkan bukti ilmiah.

Keempat, di dalam standar kompetensi dokter spesialis radiologi yang telah disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tidak memuat IAHF ataupun modifikasi DSA sebagai tindakan terapi.

Satgas melanjutkan, yang masuk dalam standar kompetensi adalah tindakan DSA sebagai metode diagnostik tanpa penambahan heparin dengan flushing. Hingga saat itu belum ada Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan (PNPK) dan Panduan Praktik Klinis (PPK) tentang tindakan IAHF untuk terapi tersebut.

CNNIndonesia.com sudah berupaya mengonfirmasi dokumen ini ke Kementerian Kesehatan. Namun, pihak kementerian belum merespons hingga berita ini terbit.

(isn)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK