Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng kepada 20,5 juta keluarga miskin penerima Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH).
Bantuan juga diberikan ke 2,5 juta pedagang gorengan. BLT itu akan diberikan sekaligus sebesar Rp300 ribu.
Kebijakan BLT ala Jokowi ini membuat politikus PDIP itu seperti menjilat ludah sendiri. Saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi mengkritik kebijakan BLT era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas kompensasi kenaikan BBM subsidi pada Juni 2013.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan yakin, Jokowi kala itu menyebut BLT lebih baik disalurkan kepada pengusaha dan rumah tangga produktif.
Kritik Jokowi yang menyindir SBY itu kini viral di media sosial. Sejumlah netizen menyentil sikap Jokowi yang kini malah memilih menyalurkan BLT dan dianggap tak konsisten.
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati melihat langkah Jokowi menggelontorkan BLT sebagai bentuk kegamangan dan perubahan arah kebijakan Jokowi seiring waktu.
"Artinya perubahan ini menunjukkan bahwa Pak Jokowi dihadapkan pada dilema sebenarnya. Dilema tetap memenuhi kebutuhan pasar dan juga berupaya mempertahankan legitimasinya," sahutnya.
Sementara peneliti Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro, tak kaget dengan inkonsistensi Jokowi. Menurutnya, bukan kali pertama Jokowi menunjukkan wajah beda pendiriannya.
Bawono kembali mengungkit soal janji Jokowi pada 2014 yang mengatakan tidak ingin menteri di kabinetnya menjabat sebagai ketua umum partai. Selang waktu lima tahun, Jokowi menjilat ludahnya sendiri dengan memasukkan beberapa ketum parpol ke dalam kabinetnya.
"Jadi inkonsistensi itu selalu ada dan menurut saya sih memang jelas ditunjukkan wajah inkonsistensi Presiden Jokowi itu semakin jelas makin ke sini. Baik inkonsistensi kebijakan di bidang politik maupun bidang ekonomi," ucap Bawono pada CNNIndonesia.com, Rabu (6/4).
Meskipun, Bawono menyadari bahwa inkonsistensi Jokowi adalah perilaku umum elite politik saat ini. Artinya, nyaris tak ada elite politik yang konsisten sebab medan politik selalu membutuhkan negosiasi dan tawar menawar kepentingan.
"Politik itu sebenarnya bukan hal yang menuntut konsistensi, bukan hal yang memungkinkan kita untuk bersikap konsisten, pasti ada tawar menawar, ada adjustment-adjustment, ada negosiasi, kita enggak mungkin konsisten kalau di dalam politik itu ya, termasuk Pak Jokowi," sambungnya.
BLT di Tengah Isu Jokowi Tiga Periode
Lebih jauh, Bawono menganggap kebijakan BLT Jokowi sebagai upaya untuk menghindari letupan konflik yang lebih luas. Pasalnya, pada saat bersamaan dengan kelangkaan dan melonjaknya harga minyak goreng, isu perpanjangan masa jabatan Jokowi 3 periode pun ikut meroket, meski belakangan Jokowi meminta anak buah setop bicara soal perpanjangan masa jabatan.
Bawono melihat sulitnya akses bahan pangan akan menjadi salah satu penyulut gejolak sosial yang lebih besar terjadi.
"BLT ini dikeluarkan oleh presiden agar jangan sampai di satu sisi ada isu yang kontroversial dalam bidang politik, isu yang potensi dapat resistensi publik luas yaitu perpanjangan masa jabatan presiden, dan di sisi lain ada persoalan pangan," ujar Bawono.
Menurutnya, Jokowi harus berkaca pada krisis ekonomi dan politik era Soeharto tahun 1997-1998 yang melengserkan posisinya sebagai presiden. Kala itu, kejenuhan pada pemerintahan Soeharto dibarengi dengan kesulitan bahan pangan dan meroketnya harga di pasaran.
Saat ini, Bawono menilai kebutuhan minyak goreng didominasi oleh kalangan menengah ke bawah yang tidak memiliki banyak alternatif. Termasuk, pedagang-pedagang rumahan seperti warung kaki lima.
Sehingga ketika akses terhadap bahan pokok atau minyak goreng semakin sulit dan masyarakat merasakan kesulitan mencari penghasilan, rentan muncul keresahan serta ketidakpuasan pada pemerintah.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Jika keresahan akan kondisi ekonomi itu dipantik dengan isu politik seperti penundaan pemilu, Bawono yakin masyarakat akan semakin mudah untuk menarik dukungannya dari pemerintah hingga di tingkat ekstrem, men-delegitimasi pemerintahan Jokowi.
"[Masyarakat berpikir] ini sudah susah akses bahan pangan kok yang di sana yang berkuasa enak-enakan mau terus-terusan gitu," tutur Bawono.
"Paling tidak kalau akses bahan pangannya mereka merasa mudah, mereka tidak akan terlalu peduli dengan isu [Jokowi tiga periode] itu, jadi kalau isu itu semakin besar tetap tidak peduli. Ya udah lu berkuasa selama gua bisa makan," sambungnya.
Sejalan dengan Bawono, Wasisto melihat kebijakan BLT Jokowi dilakukan saat ini untuk menghindari resistensi pada pemerintahan yang semakin melebar. Saat ini, ia mengungkapkan, hanya kalangan menengah terdidik yang cenderung memiliki resistensi pada pemerintahan.
"Tapi juga bisa menengah ke bawah nantinya, karena kalau sudah urusan perut digoncang itu bisa menimbulkan anarkis. Itulah yang menjadi perhatian Jokowi kenapa memberikan BLT," ucap Wasis.
Lebih jauh, BLT dinilai sebagai upaya Jokowi memenangkan kalangan masyarakat menengah ke bawah yang menjadi basis pemilih terbesar. Tak hanya itu, Jokowi menganggap kebijakan ini dapat emakin menguatkan legitimasi pemerintahannya.
"Sehingga ketika pemerintah melakukan manuver apapun akan 'mendapatkan persetujuan', karena yang kita lihat sekarag ini respon terhadap Jokowi tiga periode ini kan terbelah sebenarnya," ucap Wasisto.
BLT Serupa Pereda Nyeri
Kritik terhadap BLT tak hanya terkait sikap politik Jokowi, namun juga pada efektivitas BLT itu sendiri. Bawono melihat kebijakan BLT ini seperti pereda nyeri saat sakit gigi. Hanya berguna sementara namun tidak menyelesaikan masalah.
Menurutnya, Jokowi bukan tidak mengetahui bahwa efektivitas BLT terhitung rendah. Namun demikian, BLT adalah jalur tercepat dan aman untuk segera menanggulangi potensi konflik di tengah masyarakat.
Senada, Wasis mengungkapkan bahwa efektivitas BLT hanya bersifat jangka pendek jika tidak dilakukan terus menerus. Artinya, upaya Jokowi untuk menaikkan legitimasi pemerintah tak akan berjalan mulus jika BLT hanya dilakukan satu-dua kali.
"Pemberian BLT ini kan sebenarnya bagian dari upaya pemerintah untuk mengontrol opini publik bahwa pemerintah ini masih tetap konsisten untuk tetap menyediakan kebutuhan masyarakat," ujar Wasis.
Menurut Wasis, jauh lebih mudah bagi Jokowi untuk mengontrol opini publik lewat BLT ketimbang mengendalikan harga pangan di pasaran. Terlebih, banyak aktor berperan di balik harga minyak goreng yang gagal diintervensi oleh pemerintah.
"BLT itu kemudian menjadi pilihan logis karena kalau misal redistribusi dana atau BLT ini efektif untuk meredam opini publik. Publik itu tidak akan terlalu kritis dengan minyak goreng dan oposisi tidak akan terlalu vokal dengan politisasi BLT minyak goreng ini," paparnya.
Situasi Global dan Pandemi
Sementara itu Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Abraham Wirotomo mengatakan, terkait pemberian BLT, kondisi saat ini berbeda dengan zaman SBY. Dia mengatakan BLT diberlakukan untuk merespons pandemi Covid-19.
"Situasi dulu berbeda dari sekarang. Selain menghadapi kenaikan harga akibat lonjakan di pasar Internasional, kita masih menghadapi risiko pandemi Covid-19. Tantangan dulu tidak seperti sekarang," kata Abraham lewat pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Rabu (6/4).
Abraham menyampaikan BLT di era Jokowi juga berbeda dengan era SBY. BLT Jokowi, ucapnya, diprioritaskan dalam bentuk nontunai.
Dia berkata BLT dalam bentuk tunai baru dilakukan saat pandemi Covid-19. Kebijakan itu dibuat untuk mencegah penumpukan warga saat pembagian bantuan.
"Pemberian bantuan sosial secara tunai sifatnya tidak permanen. Bila situasi memang sudah kembali memungkinkan, maka pemerintah tetap akan memprioritaskan pendekatan penyaluran bantuan sosial secara nontunai," ucap Abraham.
Anggota DPR Fraksi PDIP Rifqinizamy Karsayuda menyatakan BLT berupa minyak goreng dan uang Rp3 juta kepada masyarakat hanya program jangka pendek.
"Dalam pandangan kami, BLT yang diberlakukan sekarang terutama BLT minyak goreng itu adalah BLT yang bisa diberlakukan dalam jangka pendek," ujar Rifqi saat dihubungi, Selasa (5/4).
Rifqi menganggap program BLT minyak goreng yang dilakukan Jokowi dilakukan jangka pendek sambil membenahi tata kelola dan niaga. Tak menutup kemungkinan BLT minyak goreng disetop sudah ada perbaikan tata kelola.
Catatan Redaksi: Judul artikel ini mengalami perubahan pada Kamis (7/4). Pada bagian akhir artikel juga mengalami penambahan.