Masjid Besar Cipaganti merupakan masjid yang pertama kali di bangun di daerah Bandung Utara yang zaman baheula dihuni masyarakat eksklusif barat (Een Westerns Enclave) dan segelintir elit pribumi. Gagasan pendirian masjid ini datang dari para inohong Bandung yang merasa tak ada masjid representatif di wilayah tersebut.
Namun, perlu untuk diketahui masjid di kawasan itu sebetulnya sudah berdiri sekitar 100 tahun sebelumnya atau sekitar tahun 1830-an. Bangunan masjid yang sebelumnya dibangun di lingkungan warga kampung pada waktu itu masih bermaterial bilik dan bergenting tanah liat.
Dekade kedua abad ke-20, muncul program pembenahan kota di Bandung. Rumah-rumah warga pribumi di sekitar Masjid Cipaganti dibeli oleh pemerintah Hindia-Belanda, termasuk Masjid Cipaganti lama. Jalan Nijlandweg dibangun membelah kawasan perumahan yang tengah dipersiapkan di sana. Di tempat yang sama, kemudian dibangun rumah-rumah permanen yang lebih besar yang kebanyakan dihuni oleh orang-orang Belanda. Sementara itu, penduduk pribuminya menyingkir setelah mendapatkan ganti rugi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam buku Toponimi Kota Bandung (Bandung Art & Culture Council, 2008) karya T Bachtiar, Etti RS dan Tedi Permadi diungkap nilai historis nama Cipaganti. Berdasarkan unsur kata pembentuknya, Cipaganti berasal dari kata "Ci" atau "Cai" (air) yang merupakan aspek "hidrologis" dan "Pangganti" yang berasal dari kata ganti yaitu suatu kawasan yang dicanangkan untuk menggantikan kawasan lain untuk jadi ibu kota atau pusat pemerintahan.
Butuh setidaknya enam tahun, dari 1926-1932, hingga masjid bisa dibangun lagi. Banyak kaum muslim yang menolak perobohan masjid dan berdiskusi mencari solusi kepada khalifah atau pemegang otoritas keagamaan setempat.
"Sesudah dirubuhkan sekitar 1926, masyarakat merasa gerah kemudian mencair solusi. Mereka berdiskusi dengan khalifah dan penghulu, maka ketua penghulu saat itu Hj Abdul Kadir dibantu Hj Abdul Muin dan Hj Abdul Kurdi dan satu orang lagi mencari kedudukan masjid. Dan ternyata terbukti bahwa tanah ini adalah tanah wakaf," kata Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Besar Cipaganti Mochamad Zaenal Muttaqin saat ditemui CNNIndonesia.com pada Kamis (17/3).
Permintaan Abdul Kadir dan kawan-kawan tersebut dibahas dalam serangkaian rapat Dewan Kota Bandung. Sebulan kemudian perizinan tersebut diberikan, dengan syarat masjid harus dibangun kembali mengikuti persyaratan dalam peraturan bangunan gedung yang diawasi oleh pemerintah setempat.
"Setelah disampaikan kepada pemerintah Hindia-Belanda bahwa tanah ini adalah tanah wakaf dengan luas dulu tercatat 8.000 meter persegi. Mereka merespons dan menghormati keputusan itu karena tanah wakaf tidak bisa diganggu gugat, tidak bisa dipakai untuk hal lain kecuali peruntukannya (masjid). Kemudian, pemerintah Hindia-Belanda mengisyaratkan boleh dibangun lagi tapi dengan catatan bangunan yang representatif kokoh dan permanen," tutur Zaenal.
Ide pendirian Masjid Cipaganti datang dari para inohong Bandung yang merasa tak ada masjid representatif di wilayah tersebut. Akhirnya, diputuskan akan didirikan masjid di Jalan Cipaganti (kini Jalan Raden AA Wiranatakusumah). Pembangunan dimulai setelah turun bantuan berupa biaya dari Raden AA Hasan Soemadipradja, serta sumbangan dari golongan bumiputera.